Senin, 23 Oktober 2017

makalah exploitasi Alam

EKSPLOITASI ALAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Tafsir Ayat Ahkam
Dosen Pengampu: Bapak Hilmy Muhammad

 
Oleh:
Sirajuddin Bariqi (15530005)
Ummi Shalichah Munfaati (15530014)
Tegar Muwafiqul Haqqani (14530077)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017
BAB I
A. PENDAHULUAN
Pembangunan sumber daya alam (SDA) hutan  merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup demi meningkatkan taraf hidup manusia. Pesatnya perkembangan peradaban umat manusia, seiring dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengantarkan pada  taraf budaya di mana manusia menganggap bahwa dirinya mampu memanipulasi alam dan lingkungan hidup. Akibatnya lupa bahwa pesatnya pembangunan yang terjadi ternyata tidak  semua berdampak positif  terhadap perbaikan lingkungan hidup. Berbagai perusakan dan masalah lingkungan terjadi sebagai akibat dari pengambilan keputusan untuk melakukan pembangunan hanya didasarkan pada kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup dan kemajuan ekonomi semata. Keputusan itu mengabaikan fungsi lingkungan hidup sebagai ruang tempat kehidupan dan penghidupan manusia Lingkungan sebagai sumberdaya, baik hayati maupun non hayati merupakan suatu karunia Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Akan tetapi   semua usaha pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian SDA lainnya yang berkaitan dengan ekosistem.  Apabila pengelolaannya dilakukan dengan tidak memperhatikan hal-hal tersebut maka akan sangat merugikan umat manusia itu sendiri. Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi bencana alam pada beberapa lokasi di Indonesia seperti terjadinya banjir, erosi, kekeringan, pencemaran, kerusakan alam, pemborosan sumberdaya alam dan sebagainya menunjukkan akibat pengelolaan lingkungan yang tidak bijaksana.
Mengatasi krisis lingkungan hidup yang kini melanda dunia bukan hanya persoalan teknis, ekonomis, hukum dan sosial budaya semata, diperlukan juga upaya penyelesaian dari perspektif agama. Mengingat usaha yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial masyarakat (LSM), untuk menanggulangi kerusakan lingkungan yang sudah sedemikian parahnya belum membuahkan hasil yang maksimal. Maka perlu melibatkan lembaga-lembaga keagamaan untuk ikut serta mengantisipasi kerusakan tersebut.
Dalam ajaran Islam, memelihara lingkungan (hifzh al-bì'ah) merupakan salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap santun dan bersahabat dengan alam (eco-friendly). Alam harus dipahami sebagai ciptaan dan nikmat Allah yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka ketaatan dan rasa cinta kepada Pencipta.
Menjaga alam adalah dengan cara: tidak merusak alam dengan semena-mena, termasuk eksplorasi dan eksploitasi yang tidak memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutannya. Melakukan pengrusakan terhadap alam sama artinya dengan menjalin permusuhan dengan-Nya. Sedang Allah, melarang manusia untuk tolong-menolong dalam permusuhan dan kejahatan.
B. Rumusan masalah
Dari pendahuluan di atas, maka pemakalah dapat mengambil beberapa rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa yang di maksud dengan eksploitasi dan eksploitasi alam?
2. Bagaimana Al-Qur’an memandang dan memberikan penjelasan terhadap eksploitasi alam?
3. Bagaimana kontekstualisasi fenomena eksploitasi alam di dalam islam dapat menjawab persoalan hukum tentang nya?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah dan latar belakang pembahasan di atas, maka makalah ini bertujuan memberikan pemahaman terhadap penafsiran al-quran tentang fenomena eksploitasi alam dan bagaimana islam dan al-quran mampu memberikan pemahaman tentang nya.






BAB II
A. Makna Kata Eksploitasi
Kata Eksploitasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, Exploitation, yang berarti penghisapan, pemerasan. Secara istilah bisa diartikan sebagai politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subjek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Dari pengertian tersebut, jika objek kajian dari eksploitasi disini adalah lingkungan/alam, maka dalam bahasa Arab kata yang merujuk kepada makna tersebut adalah fasad. Secara bahasa fasad berarti rusak atau lawan kata dari perbaikan. Dalam al-Qur’an, kata fasad dengan beragam derivasinya terulang sebanyak 50 kali.
Adapun terkait ayat-ayat yang berkaitan tentang lingkungan dan larangan-larangan dari Allah Swt untuk merusaknya, mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ali Yafie mengungkapkan ada 95 ayat, yang diantaranya adalah; Surah al- Baqarah 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imrân : 63; Al-Mà'idah: 64; dan Al-A‘ràf : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142.

B. Ayat dan Tafsir tentang Eksploitasi
1. QS. Al-Rum: 41-42
tygsߠߊ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ä¨$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ   ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt7É)»tã tûïÏ%©!$# `ÏB ã@ö6s% 4 tb%x. OèdçŽsYò2r& tûüÏ.ÎŽô³B ÇÍËÈ   
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (QS. Al-Rum: 41-42)
Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menyebutkan bahwa diantara ulama’ terdapat perbedaan pendapat mengenai arti dari kata al-fasadu fi al-barri wa al-bahri dalam ayat tersebut. Diantara penafsiran yang disebutkan al-Qurthubi adalah penafsiran dari Qatadah dan al-Suddi yang mengartikannya sebagai syirik, sebesar-besar kerusakan. Ibn Abbas, Ikrimah dan Mujahid mengartikan kerusakan di darat dengan peristiwa pembunuhan Qabil atas Habil. Sedangkan kerusakan di laut dengan pengrusakan kapal (bahtera) oleh seorang raja (kisah Nabi Musa as dengan Khidlir as dalam QS. Al-Kahfi: 79).
Jika merujuk pada tafsir al-Qurthubi, dengan melanjutkan penafsiran ayat 41 ke ayat 42, maka kemungkinan besar ayat ini tidak secara khusus berbicara mengenai kerusakan dalam bentuk fisik (merusak alam/lingkungan). Al-Qurthubi menafsirkan ayat 41 dengan:
قَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ) أَيْ قُلْ لَهُمْ يَا مُحَمَّدُ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ لِيَعْتَبِرُوا بِمَنْ قَبْلَهُمْ، وَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ مَنْ كَذَّبَ الرُّسُلَ (كانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ) أَيْ كافرين فأهلكوا.
Artinya: Allah Swt berfirman: (Katakanlah: adakanlah perjalanan di muka bumi), katakanlah kepada mereka hai Muhammad, adakanlah perjalanan di muka bumi untuk mengambil pelajaran dari orang-orang sebelum mereka, dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan Rasul. (kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)), maka adalah mereka tergolong orang-orang yang kafir.
2. QS. Al-A’raf: 56
Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ   
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-A’raf: 56)
Ketika menafsirkan QS. Al-A’raf: 56, al-Qurthubi mengutip pernyataan al-Dhahhak yang menafsirkan wa la tufsidu fi al-ardli ba’da ishlahiha dengan larangan untuk menyumbat air yang mengalir, serta larangan untuk menebang pohon berbuah dengan jalan  merusaknya (bathil). Di sisi lain, al-Qusyairi menafsirkannya dengan larangan untuk berbuat syirik.
Sedangkan ibn Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Allah melarang setiap hambanya untuk membuat kerusakan di muka bumi, terutama setelah dilakukan perbaikan. Ibn Katsir melanjutkan, sesungguhnya jika segala sesuatu pada awalnya berjalan diatas kebaikan, kemudian dirusak, maka dampak yang dihasilkan adalah sebuah kerugian yang akan menimpa diri manusia.
Dari penafsiran diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya kedua ayat tersebut bisa diartikan sebagai perusakan secara lahiriah dan secara non-lahiriah. Secara lahiriah berarti membuat kerusakan terhadap lingkungan seperti; penggundulan hutan secara ilegal, perusakan terumbu karang, membuang limbah industri dengan tidak sesuai peraturan, dll, sementara secara non-lahiriah berupa menyekutukan Allah Swt., mendustakan Rasul, dsb.
Namun, dari dua bentuk perusakan tersebut, keduanya mempunyai keterkaitan yang kuat. Kerusakan secara lahiriah pada dasarnya merupakan implikasi dari perusakan secara non-lahiriah. Jika kedua perilaku menyimpang ini terus berlangsung secara massif dan membudaya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa kehidupan manusia --baik dari segi lahiriah maupun non-lahiriah-- akan terancam.

C. Pengaruh Globalisasi terhadap Maraknya Eksploitasi Alam
Tidak bisa dimungkiri bahwa timbul dan berkembangnya tindakan ekploitasi merupakan salah satu dampak dari globalisasi. Penggunaan rumah-rumah kaca, penggundulan hutan (baca: illegal logging), penambangan liar, dan sederet eksploitasi alam lainnya adalah bukti bahwa manusia ikut berkontribusi pada kerusakan alam.
Efek lain dari globalisasi adalah menipisnya jarak antar negara, sehingga peraturan-peraturan yang diterapkan dalam suatu negara juga menjadi kabur atau tidak terkendali. Di Indonesia, setidaknya ditemukan adanya dualisme konsep dalam rangka pemanfaatan SDA (Sumber Daya Alam). Pertama, ketika dipandang dari sudut pandang masyarakat kapitalis-liberalis, perekonomian dijalankan berdasarkan mekanisme pasar bebas, yang tentu saja mempunyai logika dan norma tersendiri. Kedua, di Indonesia, undang-undang, terkait hal apapun, tidak boleh bertentangan dengan UUD ’45. Dari dua konsep tersebut, jika konsep pertama yang digunakan, maka akan berdampak pada tidak terkendalinya mekanisme pasar serta carut marutnya perundang-undangan negara.
Begitu juga dengan pengaruh dari neo-liberalisme, neo-imperialisme dan neo-kapitalisme. Jika imperialisme dan kapitalisme cara kerjanya menggunakan fisik, maka neo-liberalisme, neo-imperialisme dan neo-kapitalisme melancarkan penetrasi konsepsi dalam pemerintahan (penjajahan otak), sementara pelaksanaannya tetap dipegang oleh pemerintahan yang sah. Dengan begitu, para pemilik modal akan mampu menguasai ekonomi dan kemudian memperalat negara, sehingga kebijakan-kebijakan negara akan selalu mendukung mereka.
Argumentasi di atas menyadarkan kita bahwa maraknya tindakan eksploitasi di Indonesia dalam waktu dekat ini  bukan semata keperluan ekonomi masyarakat. Namun lebih dari itu, ada kepentingan pemilik modal untuk menggerogoti kekayaan alam Indonesia. Setidaknya, sejak tahun 2003 tercatat terdapat 5 undang-undang di bidang SDA yang diuji oleh MK (UU ketenagalistrikan, UU migas, UU SD air, UU kehutanan, UU penanaman modal). Kelima SDA itulah yang sedang di komersialisasi, diperjual-belikan, digadaikan demi menyenangkan pemilik modal.

D. Cara Menyelamatkan Alam dalam Islam
Semua agama mengajarkan umatnya untuk cinta lingkungan hidup termasuk Islam. Wujud kecintaan pada alam itu diajarkan al-Qur’an dengan melarang tindakan-tindakan yang mengeksploitasi alam serta menerapkan cara hidup yang ramah lingkungan. Karena itulah ukuran keimanan seseorang bukan dari tampilan serta harta yang dimilikinya, tetapi dari cara ia berperilaku dan bertindak pada orang lain serta alam sekitar. Tingkat keimanan seseorang pada Allah dapat diukur dengan cara melihat bagaimana ia berperilaku pada yang lain, diluar dirinya.
Alqur’an menjelaskan bahwa tanggung jawab alam diserahkan pada manusia yang berawal dari penunjukan manusia sebagai khalifah di bumi. Tugas seorang khalifah adalah melestarikan alam agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika ia hidup dan masih dapat digunakan di masa yang akan datang. Tugas pelestarian alam itu meliputi perawatan pada hutan, air, hewan, dan bagian-bagian alam lainnya. Untuk dapat menjalankan tugas itu, maka Allah memberikan keistimewaan akal pada manusia. Sehingga dengan akal manusia dapat memikirkan langkah apa saja yang harus dilakukan untuk merawat alam. Oleh karena itu, berkali-kali Alqur’an menegaskan agar manusia memaksimalkan kekuatan yang diberikan Allah untuk tujuan kebaikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Salah satu penyelamatan alam yang dicontohkan Rasulullah adalah dengan menetapkan Makkah dan Madinah sebagai kota konservasi. Di daerah ini tidak ada yang boleh mengganggu hewan maupun tumbuhan yang ada di dua kota tersebut. Penetapan daerah kawasan Naqi, Saraf, Rabadzah, dan Hima sebagai kawasan kegiatan konservasi sumber daya alam hanyalah salah satu yang diajarkan Rasulullah untuk memelihara alam.  Agar umat Islam selalu memelihara hewan maupun tumbuhan yang telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.
Rasulullah telah menganjurkan umat Islam untuk memelihara hewan ternak dengan cara yang baik. Karena itu Rasulullah telah membuat berbagai peraturan untuk memastikan kalau manusia akan memperlakukan binatang dengan baik. Diantaranya adalah diantaranya larangan membiarkan hewan kelaparan, larangan membebani binatang melebihi kemampuannya, larangan menghardik, menggertak hewan agar berlari kencang, dan memastikan hewan ternak mendapatkan makanan yang cukup.
Untuk menyelamatkan hutan dan rerumputan, dalam wilayah kebijakan formal, Rasul memberi contoh dengan menetapkan kawasan pelestarian alam dengan daerah konservasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga harus memperlakukan tumbuhan dengan cara yang baik misalnya, menyiram tumbuhan, tidak mencemari air, memberi makan pada hewan. Islam juga menganjurkan pada kita agar memperhatikan lautan. Karena bagaimanapun lautan memiliki peran signifikan dalam kehidupan manusia. Banyak manfaat laut bagi kehidupan manusia misalnya untuk transportasi, ikan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan energi tubuh kita, garam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, dan sebagianya. Dalam surat Ar-Ruum ayat 41, dengan jelas Allah memerintahkan pada kita untuk merefleksikan hal itu17.  
Walaupun realita saat ini jauh dari yang kita idealkan tetapi tentu kita tidak boleh putus asa. Jika saat ini begitu banyak kerusakan yang ditimbulkan karena kesalahan manusia, maka saat ini seharusnya kita menyadari dan kembali merefleksikan setelah itu memperbaiki kesahan itu. Caranya dengan kembali pada ajaran agama. Allah telah mengamanahkan bumi ini untuk kita rawat dengan baik. Karena itulah untuk mewujudkan kehidupan yang ramah lingkungan, sebuah kehidupan yang memberi harapan baik untuk anak cucu kelak, maka tidak ada pilihan lain kecuali kita segera menghentikan tindakan yang merugikan alam dan mulai memperbaikinya. Jika ada yang bersikukuh merusak alam untuk kepentingannya, maka sesungguhnya mereka itu telah mengikis keimanan. Karena tindakan merusak sudah tentu melanggar aturan-aturan Allah, yang dibuat demi untuk kebaikan manusia juga18.

EE. Kontekstualisasi
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) pada hakikatnya milik absolut Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatannya dan pelestariannya kepada manusia.
SDA yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan. Pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan; Penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan, Perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawasan rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisipatif melalui kemitraan masyarakat.
Hadits tentang pengelolaan lahan tidur (ihya mawat). “Barang siapa yang mengelola lahan tidur, maka tanah tersebut menjadi miliknya” (HR Ahmad dan Tirmizi). Menurut Ibnu Chaldun, manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya. Sedangkan, manusia pada saat ini justru telah banyak merusak alam untuk meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri. Hal ini sangatlah bertolak belakang dengan apa yang di maksud oleh Nabi serta para sahabatnya, bahwa mengeksplore alam boleh akan tetapi jika mengandung kemanfaatan bagi umat manusia lain nya.
Perlu disadari bersama, bahwa segala yang ada di dalam bumi dan di langit mengandung kekayaan yang berlimpah bagi bumi dan seluruh isi nya. Abu Yusuf, Mawardi dan Abu Ya’la menegaskan agar tidak membiarkan kekayaan alam tidak termanfaatkan (idle). Abu Yusuf mengatakan, Kepala Negara tidak boleh membiarkan tanah yang tidak bertuan tanpa pengelolaan dan Kepala Negara dapat menyerahkan hak pengelolaan tanah tersebut kepada rakyat (masyarakat).
Tafsiran tentang etika terhadap alam yang di cantumkan oleh penulis diatas dahulu menjadi anjuran untuk memanfaatkan lahan, begitu mulianya hal ini hingga Nabi bersabda bahwa jika buahnya di makan oleh binatang maka akan menjadi pahala bagi orang yang menanamnya. Pemanfaatan lahan ini dimungkinkan karena melihat kondisi masyarakat arab terdahulu yang hidup nomaden serta kontur tanah bebatuan yang gersang menjadikan masyarakat terdahulu mungkin pesimistis untuk menyuburkan tanah di sana.
Setelah masuk kedalam konteks alam indonesia terjadinya pegeseran konteks juga mempengaruhi penerapan pemaknaan yang dimaknai dengan menanam tanpa memperdulikan konskuensi yang di timbulkan, sebut saja pembukaan lahan yang menyebabkan tidak terikatnya air oleh akar-akar pohon yang menyebabkan banjir, eksploitasi tambang emas di Irian jaya yang tak kunjung usai, dan bencana lainnya yang disebabkan oleh semakin rusaknya alam.
 Ahli ekologi Inggris A.G. Tansley orang yang pertama mencetuskan istilah ekosistem. Sebagai kesimpulan dari pernyataan bahwa tidak ada organism yang mampu hidup dengan sendirinya atau tanpa lingkungan. Termasuk kesatuan antara manusia dan alam. Konsep ekosistem merupakan konsep yang luas, fungsi utamanya didalam pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib, ketergantungan, dan hubungan sebab musabab, yakni rangkaian komponen untuk membentuk satuan-satuan fungsional. Akibatnya satuan-satuan tersebut tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Jika melihat konsep ekosistem kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa manusia berada didalamnya sebagai komponen dari sebuah ekosistem yang di sebut alam. Jika manusia dapat berjalan sesuai ekosistem tanpa merusaknya maka semuanya akan berjalan sesuai fungsinya. Juga sebaliknya jika manusia sebagai salah satu dari bagian ekositem yang ada merusak salah satu bagian yang lain (lingkungan) maka akan menyebaban ekosistem yang ada tidak berjalan baik. Kemudian untuk menjaganya kita harus merubah pola memanfaatkan lahan dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang di timbulkan akibat pemanfaatan tersebut.
Oleh karenanya, setiap apa-apa yang ada di dalam bumi, segala pemanfaatan nya untuk penghuni bumi itu sendiri. Dan tidak untuk perseorangan, jika eksploitasi alam mengandung banyak mudharat dari segi pemanfaatan nya terhadap makhluk Allah lain nya, maka sudah jelas hukum eksploitasi menjadi haram dan di larang, apalagi jika sampai menyebabkan kerusakan. Akan tetapi jika dengan eksploitasi alam justru dapat memberikan kemanfaatan kepada makhluk Allah lain nya, maka itu menjadi anjuran dan sunnah, karena membawa kesejahteraan bagi umat.






BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat di simpulkan bahwa segala macam yang bersumber dari alam, maka akan kembali kepada alam itu sendiri. Eksploitasi alam boleh di lakukan jika mengandung kemanfaatan bagi umat manusia secara bersamaan dan dengan cakupan masyarakat yang luas, sedangkan jika eksploitasi alam itu mengandung untuk perusakan dan membawa kesengsaraan bagi umat manusia lain nya, maka sangat tidak di anjurkan untuk di lakukan.
Oleh karenanya, setiap apa-apa yang ada di dalam bumi, segala pemanfaatan nya untuk penghuni bumi itu sendiri. Dan tidak untuk perseorangan, jika eksploitasi alam mengandung banyak mudharat dari segi pemanfaatan nya terhadap makhluk Allah lain nya, maka sudah jelas hukum eksploitasi menjadi haram dan di larang, apalagi jika sampai menyebabkan kerusakan. Akan tetapi jika dengan eksploitasi alam justru dapat memberikan kemanfaatan kepada makhluk Allah lain nya, maka itu menjadi anjuran dan sunnah, karena membawa kesejahteraan bagi umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar