Minggu, 07 Januari 2018

Nama : Faisal wafi
NIM : 14530023
Mata kuliah : Pemikiran Tafsir Kontemporer


Teori Kritik Syahrur Atas Pemikiran Arab-Islam Kontemporer


Tugas interpretasi al-Qur’an dalam historinya telah membuktikan bahwa tafsir berkembang terus seakan tidak pernah berhenti. Perkembangan itu sendiri sangat kompleks dan menyangkut banyak variabel yang tidak sedikit, mengacu kepada aspek aspek seperti asumsi, historisitas, wacana, serta penemuan teori “pembacaan” al-Qur’an yang berbeda dari setiap periode. Hal ini dapat ditilik dari hasil penafsiran yang keluar dari beberapa tokoh yang membawa karakteristik pembeda antara satu dengan lainnya.
Peradaban islam telah berlalu paruh terahir abad ke-20 M. Tepi peradaban islam sejak permulaan abad 20 masih saja menyuguhkan islam sebagai aqidah dan etika tanpa menyentuh dimensi filosofis dalam aqidah itu sendiri, hal inilah mulanya yang mejadi titik tumpu pemikiran Muhamad syahrur. Menurutnya perkembangan islam mengalami stagnansi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran keislaman, karena masih dipenuhi berbagai taqlid dan doktrin tanpa pengkajian.
Pembaruan proyek penting bagi sejumlah harakah islamiyah saat ini dengan berbagai perbedaan dalam memandang pembaharuan tersebut diaplikasikan. Secara pembagian, mengacu pada istilah as-Syaukani, bahwa pemikiran Syahrur berasal dari abduh yang notabene menjadi bagian “islam kiri”. Pemikiran yang ingin diperkenalkan adalah sebuah gerakan reformis yang mengembangkan pemikirannya berdasarkan metodologi barat yang bercorak liberal.1
Dalam melakukan pembaharuan interpretasi dalam studi al-Qur’an, syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek Filologi (fiqh al-lughah).2 Dimana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinan kepada anti sinonimitas istilah dalam al-Qur’an, yaitu bahan awal teori interpretasinya ; al-kitab terbagi kepada al-Qur’an dan umm al kitab.
Penulisan saat ini mungkin tidak menerawang jauh menuju tawaran yang di berikan syahrur, namun hanya sebatas asumsi awal yang menjadi dasar keresahan syahrur untuk melakukan pembaharuan dalam “pembacaan ulang” terhadap teks teks keagamaan. Dalam menjabarkan kritik Syahrur atas masalah ini, beliau memunculkan beberapa masalah dasar dalam pemikiran arab (islam) kontemporer, sebagai berikut : pertama, para pemikir muslim tidak mempunyai metode ilmiah objektif sebagai pegangan. Yaitu dalam mengreinterpretasi ayat ayat suci seharusnya mereka menerapkan sikap objektif terhadap makna ayat itu sendiri tanpa adanya keberpihakan pengamat.
Kedua, seringkali terjadi prakonsepsi dalam memandang sebuah “term” sebelum adanya kajian. Para pemikir muslim berkesimpulan lebih dahulu sebelum mengadakan penelitian dengan mendasarkan kepada asumsi yang dibangunnya sendiri, contohnya seperti tema “perempuan dalam islam”. Mereka berasumsi bahwa posisi perempuan dalam islam sudah proposional dan islam adalah agama yang bersikap paling adil terhadap perempuan. Sehingga apapun yang dikerjakannya selalu didasarkan atas asumsi ini, padahal setiap persoalan yang akan dikaji menuntut adanya pembahasan ilmiah yang objektif, terbebas dari segala klaim barulah kemudian melakukan pendekatan dengan berbagai metode yang ada.
Ketiga, pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep konsep filsafat humaniora serta tidak berinteraksi dengan dasar dasar teorinya. Dalam mengenalkan hal ini saya mengutip perkataan syahrur :3
“kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh hasil pemikiran manusia sejak zaman yunani hingga saat ini adalah sebuah kesalahan. Jika saya berpendapat bahwa segala yang dihasilkan pemikiran manusia merupakan sebuah entitas, sedangkan islam adalah entitas yang berbeda. Dengan kata lain kita hendak mengatakan bahwa apapun yang terlintas dalam benak kita bukanlah islam yang sesungguhnya, maka akan muncul pertanyaan yang tidak mungkin untuk dijawab, apakah islam itu? Pertanyaan ini menandakan bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang sempurna atas islam. Tetapi jika saya berpendapat bahwa hal yang dikemukakan oleh pemikiran manusia ada yang sempit dan ada yang luas, ada yang benar dan salah, maka hal ini berarti kita sebagai muslim mampu berinteraksi secara positif dengan seluruh pemikiran manusia tanpa khawatir atau takut. Akan tetapi sebelum interaksi positif ini dilakukan secara sempurna, kita sebagai orang arab atau muslim harus memiliki standar fleksibel yang memungkinkan kita berinteraksi tanpa harus takut. Standart itulah yang selama ini belum ada.”
Keempat, dalam mengemukakan masalah yang berkaitan dengan ilmu humaniora, tidak terdapat teori islam kontemporer yang diimpor langsung dari al-Qur’an, yang mana dengan teori itu kita bisa memberi pencerahan tentang cara berpikir ilmiah pada diri setiap muslim, dan melakukan islamisasi pengetahuan. Hal inilah yang menurut syahrur menyebabkan tafakkuk al-fikri, yaitu terjebak pada pemikiran yang statis dan wawasan yang sempit (tidak terbuka dalam berpikir). Tanpa adanya sebuah epistem yang diharapkan bisa menampung sisi keurangan dan kelebihan, pasti akan selalu muncul reduksi, simplifikasi dan sempitnya wawasan. Maka dari itu dalam bukunya syahrur Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer banyak menyorot bahasan bahasan mengenai problematika pengetahuan manusia melalui pendekatan filsafat.
Kelima, saat era kontemporer seperti saat ini, terdapat banyak problematika yang semakin kompleks khusunya dalam mewadahi fiqh moderen yang syahrur sebut sebagai “krisis ilmu fiqih”, kita butuh sebuah pemahaman moderen mengenai sunah nabi serta adanya rekonstruksi sekaligus dekonstruksi untuk mewadahi warisan madzahib fiqih.
Kita tidak bisa memecahkan masalah tersebut sebelum menemukan teori otentik dalam ilmu humaniora (jadal al-insan) yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karena menurut syahrur sebuah pijakan filosofis pasti mampu memecahkan persoalan fiqih yang sesuai dengan keadaan aktual.
Demikianlah beberapa dasar masalah yang ingin diungkapkan syahrur mengenai pemikiran arab(islam) kontemporer, tentunya point point diatas masih perlu pembacaan yang serius untuk memahami secara keseluruhan tentang teori “batas” nya yang terkenal baik pro dan kontra. Namun meskipun begitu pembaca diharapkan akan mengerti sedikit mengenai apa yang harus diketahui lebih awal dari pemikiran syahrur.
1 A. Luthfi assyaukanie, Tipologi dan Wawancara Pemikiran Arab Kontemporer, dipublikasi di http://media.isnet.org/islam/paramadina/jurnal/arab2.html, diakses tanggal 11 desember pukul 20.15
2 Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqh menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta : fakultas syari’ah press, 2004, hlm 150

3 Muhammad Syahrur, al kitab wa al Qur’an, terjemah syahiron syamsudin, yogyakarta : eLSAQ Press, 2004, hlm 40

Senin, 23 Oktober 2017

HADIS SOSIAL (Etika Makan dan Minum)



Hadis tentang Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri

Abstrak
Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an bagi umat Islam. hadis yang dapat dipakai adalah hadis yang shahih sanad dan matannya. Terdapat banyak metode dalam memahami hadis terutama hadis yang kontradiktif. Hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri menjadi kontroversi bagi kalangan ‘ulama karena bertentangan dengan hadis yang menyatakan Rosul pernah melakukannya. Indonesia adalah negara dengan sebagian besar budaya dan normanya diadopsi dari Timur. Makan dan minum sambil duduk adalah salah satu norma yang diajarkan turun temurun bagi masyarakat Indonesia. Mulai pudarnya kesadaran akan norma bangsanya sendiri dan muncul kebiasaan baru bagi masyarakat yaitu makan dan minum sambil berdiri. Tidak hanya dari segi hadisnya yang kontradiktif, namun dari segi kesehatan ternyata terdapat perbedaan pendapat tentang sehat atau tidaknya minum sambil berdiri. Ada yang mengatakan bahwa makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan berbagai penyakit, dan adapula yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh sama sekali dari segi kesehatan makan dan minum sambil berdiri maupun sambil duduk. Kajian hadis kontradiktif mengenai larangan makan dan minum akan sangat menarik dan penting jika dikaji secara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Kajian kontekstualisasi dari perspektif kesehatan dan etika masyarakat Indonesia dapat menjadi pertimbangan untuk memahami metode apakah yang paling tepat untuk diterapkan. Metode Jam’u adalah metode yang paling tepat untuk diterapkan dalam kajian kontekstualisasi hadis. Dengan metode tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa larangan makan dan minum sambil berdiri adalah makruh. Hanya norma sosial yang dapat menuntut bahwa makan dan minum sambil berdiri dinilai kurang sopan bagi masyarakat Indonesia.
Kata kunci: makan minum sambil berdiri, hadis kontradiktif, kesehatan, etika.
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan mengajarkan akhlak yang baik pula pada pengikutnya. Secara tidak langsung, seiring tersebarnya Islam sampai ke Indonesia, ajaran-ajaran yang Rosul sampaikan kepada umat Muslim terserap dan membudaya bagi masyarakat Indonesia, sehingga menjadi norma bagi bangsa secara tidak tertulis.. Masyarakat Indonesia memiliki tingkat etika dan estetika tinggi yang terserap dalam norma-norma yang berlaku di masyarakat. Salah satunya adalah etika terhadap makan dan minum. Secara tidak tertulis, norma yang diajarkan dari orang tua adalah makan dan minum harus pakai tangan kanan, ketika makan tidak boleh sambil bicara, serta tidak etis bagi masyarakat Indonesia untuk makan dan minum sambil berdiri, melainkan dilakukan sambil duduk. Namun seiring
2
berjalannya waktu, globalisasi, dan tingkat kesadaran dari masyarakat yang rendah mengantarkan pada lunturnya norma yang terdapat pada elemen masyarakat.
Dalam hadis, terdapat larangan minum dan makan sambil berdiri, walaupun pada hadis yang lain, Rosul pernah minum sambil berdiri dalam kondisi tertentu. Adanya teks hadis dan nilai etis yang tertanam dalam masyarakat, maka sudah sepantasnya kita sadar akan masalah yang dihadapi dalam masyarakat atas sifat acuh yang dialami masyarakat terhadap norma yang tertanam dalam diri masyarakat. Akan menjadi menarik apabila teks hadis yang mukhtalif tentang boleh tidaknya makan dan minum sambil berdiri dikaji secara kontekstual baik dari perpektif kedokteran maupun perpektif etika yang berlaku, serta bagaimana kualitas hadisnya. Dengan ini, penulis akan mengkaji masalah “etika makan dan minum, hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri”. Kajian ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hadis sosial dan memberikan kesadaran akan pentingnya mengamalkan sunnah Rosul serta pentingnya memperhatikan etika yang berlaku dalam lapisan masyarakat.
Dari uraian diatas, permasalahan tentang larangan makan dan minum sambil berdiri dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kajian hadis dari segi sanad dan matan? Bagaimana kualitas hadisnya baik yang melarang dan yang membolehkan?
2. Bagaimana konteks hadis dan kontekstualisasi hadis jika dilihat dari perspektif kesehatan dan perspektif etika masyarakat Indonesia.
B. Pembahasan
1. Teks Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُل قَائِمًا . فَقِيل : الَْْكْل , قَال :
ذَاكَ أَشَ د .
Artinya: Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Adi menceritakan kepada kami, dari Sa'id bin Abu ‘Arubah, dari Qatadah, dari Anas, ia mengatakan: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang seseorang minum sambil berdiri”. Ditanyakan (kepada Rasulullah), "(Bagaimana dengan) makan?" Rasulullah menjawab, "Itu lebih (buruk) lagi". (HR. Tirmidzi no. 1879)1
2. Kritik Sanad
Jika sanad hadis diatas dibuat skema maka sebagai berikut:
Nabi Muhammad SAW
1 Lihat software lidwa pusaka sembilan imam.
3
Anas
Qotadah
Sa’id bin Abi ‘Arubah
Ibn Abi ‘Adi
Muhammad bin Basyar
Tirmidzi
a. Anas (w. 93)2
Nama lengkap : Anas bin Malik bin Nadhr bin Dhomdhom bin Zaid bin Harom
Nama masyhur : Anas bin Malik al-Anshori
Nama laqob : Dzul Udzunain
Tahun wafat : 93 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Abu Hatim ar-Rozi : Anas adalah pelayan Rosulullah
2. Abu Hatim bin Hibban : Anas adalah pelayan Rosul
3. Dzahabi : Anas adalah Shahabat
Nama Guru : Rosul Saw, Ibn Mas’ud adz-Dzahabi, Qois bin ‘Abdul ‘Uzza, Robi’ah bin Waqos, Yazid bin Tsabit al-Anshori, Ummu Salamah (istri Rosul), dll.
Nama Murid : Qotadah bin Da’amah, Qois bin Abi Hazim, ‘Umar bin Syakir al-Bashori, Marwan al-Waroq, Muhammad bin al-Aqtho’, Hasan bin Tamim, dll.
b. Qotadah (w. 117)3
Nama lengkap : Qotadah bin Da’amah bin Qotadah bin ‘Aziz bin ‘Amr bin Robi’ah
Nama masyhur : Qotadah bin Da’amah as-Sadusi
Nama kunyah : Abu al-Khattab
Tahun lahir : 61 H
2 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
3 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
4
Tahun wafat : 117 H
Jarh wa Ta’dil:
1. Daruquthni : Tsiqot
2. Yahya bin Mu’in : Tsiqot
3. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot tsubut dan al-Hafidz
Nama Guru : Anas bin Malik al-Anshori, Ishaq bin ‘Abdullah al-Hasyimi, Hasan bin ‘Abdullah al-‘Aroni, Qosim bin Robi’ah al-Ghotofani, Jarir bin ‘Abdullah, dll.
Nama Murid : Sa’id bin Abi ‘Arubah, ‘Imron bin Yazid al-Qotthon, ‘Imron bin Muslim, Sufyan bin Husain, Salam bin Muskin, Sufyan bin Habib al-Bisri, dll.
c. Sa’id bin Abi ‘Arubah (156 H)4
Nama lengkap : Sa’id bin Mahron
Nama masyhur : Sa’id bin Abi ‘Arubah al-‘Aduwi
Nama laqob : Ibn Abi ‘Arubah
Nama kunyah : Abu an-Nadzhor
Tahun wafat : 156 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijli : Tsiqot
3. Daruquthni : Tsiqot
Nama Guru : Qotadah bin Da’amah as-Sadusi, Ayyub bin Musa al-Qurosy, Ibrohim bin ‘Abdur Rahman, Sa’id bin Haml, dll.
Nama Murid : Ibn Abi ‘Adi, Ahmad bin Hanbal asy-Syibyani, Ibrohim bin Shodaqoh al-Bisri, Wahid bin Khalid, Hamam bin Yahya al-‘Udzi, dll.
d. Ibn Abi ‘Adi (w. 194 H)5
Nama lengkap : Muhammad bin Ibrohim bin Abi ‘Adi
Nama masyhur : Muhammad bin Ibrohim as-Salami
Nama laqob : Ibn Abi ‘Adi
Nama kunyah : Abu ‘Amr
Tahun wafat : 194 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2. Adz-Dzahabi : Tsiqot
3. Abu Hatim ar-Rozi : Tsiqot
Nama Guru : Sa’id bin Mahron, Ibrohim bin Sa’ad az-Zuhri, Isma’il bin Mu’in al-Makki, Yahya bin Sa’id al-Qotthon, Yazid bin Qois al-Azdi, dll.
Nama Murid : Muhammad bin Basyar, Ahmad bin Hanbal Asy-Syibyani, Ahmad bin Tsabit, ‘Ali bin Madini, ‘Amr bin ‘Ali al-Falasi, dll.
e. Muhammad bin Basyar (w. 167 H)6
4 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
5 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
6 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
5
Nama lengkap : Muhammad bin Basyar bin ‘Utsman bin Dawud bin Kisan
Nama masyhur : Muhammad bin Basyar al-‘Abdi
Nama laqob : Bindar
Nama kunyah : Abu Bakar
Tahun lahir : 167 H
Tahun wafat : 252 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijli : Tsiqot
2. Ibn Hajar al-‘Atsqolani : Tsiqot
3. ‘Abdur Rouf al-Manawi : Tsiqot
Nama Guru : Muhammad bin Ibrohim as-Salami, Sahl bin Hummad, Sa’id bin ‘Amir, Abu Dawud ath-Thiyalusi, Abu Dawud as-Sujastani, Sahl bin Yusuf, dll.
Nama Murid : Tirmidzi, Husein bin Mas’ud, Ibrohim bin ‘Abdullah az-Zabibi, Muhammad bin Ahmad al-Bisri, dll.
f. Tirmidzi (w. 279 H)7
Nama lengkap : Muhammad bin ‘Isa
Nama masyhur : Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi
Nama laqob : Abu Isa8
Tahun lahir : 209 H
Tahun wafat : 279 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Abu Hatim Muhammad ibn Hibban : Tsiqot
2. Abu Ya’la al-Khalili : Tsiqot
3. Abu Sa’d al Idrisi : Tsiqot
Nama Guru : Muhammad bin Basyar, Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahuyah, Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, dll.
Nama Murid : Abu Bakr Ahmad bin Isma’il As Samarqandi, Abu Hamid Abdullah bin Daud Al Marwazi, Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri`, Ahmad bin Yusuf An Nasafi, Ahmad bin Hamduyah an Nasafi, Al Husain bin Yusuf Al Farabri, Hammad bin Syair Al Warraq, Daud bin Nashr bin Suhail Al Bazdawi, Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili, dll.
Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis ini memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad telah terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ittishal al-sanad (ketersambungan sanad), tsiqqahu al-ruwah (para perawinya kredibel), dhabtu al-ruwah (intelektualitas perawi), Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas perawi memiliki tingkatan yang Tsiqoh. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut.
3. Kritik matan
7 Sutarmadi Ahmad , Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm Hadits dan Fiqh/ pengantar, (Jakarta : Logos, 1998), hal.27.
8 Abu al-Falah ‘Abdul Hayyi Ibn al-Imam Hanbal, Syaradat adz-Dzahab, (mashr: dar alfikr, 1979) cet ke-1, jilid 2,hal.174.
6
Setelah diketahui sanad hadis diatas shahih, maka kritik matan perlu dilakukan untuk bisa mengetahui tujuan sebenarnya dari sebuah hadis dengan langkah awal adalah takhrij hadis. Setelah dilakukan takhrij hadis melalui software Mausu’ah al-Hadis, pemakalah menemukan dua variasi konten matan, yaitu ada hadis yang menjelaskan larangan minum sambil berdiri dan hadis yang membolehkannya, berikut beberapa hadis tersebut:
A. Hadis yang melarang minum sambil berdiri selain hadis diatas, sebagai berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَََََ عَنْ ال ر شرْبِ قَا اِِ ما .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bahwa Nabi Shallallahu A'laihi Wa Sallam melarang minum ketika berdiri. (diriwayatkan oleh Muslim no. 3771, Sunan Tirmidzi no. 1800, Sunan Abu Dawud no. 3229, Sunan Ibnu Majah 3414 dan Musnad Ahmad no.11740.).
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي عِيسَى الُْْسْوَارِيِّ عَ نْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَ لَّمَ رَََََ عَنْ ال ر شرْبِ قَا م اا .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu 'Isa Al Uswari dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang minum ketika berdiri. (HR.Muslim 3773).
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْ بَََّارِ بْنُ الْعَلََءِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَ ارِيَّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَمْ ةَََ أَخْبَرَنِي أَبُو غَطَفَانَ الْمُرِّ ر ي أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُُ قَالَ رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَُ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَا ا ما مَََنْ نَسِيَ لََْيَسْتَقِ .
Artinya: Telah menceritakan kepadaku 'Abdul Jabbar bin Al 'Alaa`; Telah menceritakan kepada kami Marwan yaitu Al Fazari; Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hamzah; Telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minum ketika berdiri, apabila dia lupa maka muntahkanlah." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3775 dan Musnad Ahmad no. 7985).
B. Hadis yang membolehkan minum sambil berdiri
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ النَّ اََّلِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِ يَ اللََُّّ عَنْهُ عَلَى بَابِ
الرَّحَبَةِ شَََرِبَ قَا اِِ ما قَََالَ إِنَّ نَا ا سا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَا مٌِِ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَََلَ
كَمَا رَأَيْتُمُونِي عَََلْتُ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu pernah datang dan berdiri di depan pintu Rahbah, lalu dia minum ketika berdiri setelah itu dia berkata;
7
"Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum ketika berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (diriwayatkan oleh Bukhori no. 5184 dan 5185, Sunan Abu Dawud no. 3230, Sunan an-Nasa’i no. 130 dan Musnad Ahmad no. 550).
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْ حََْدَرِ ر ي حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَ قَيْتُ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى
اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مََْ مَََ شَََرِبَ وَهُوَ قَا مٌ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al Jahdari; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Ashim dari Asy Sya'bi dari Ibnu 'Abbas ia berkata; "Aku memberi minum berupa air zam-zam kepada Rasulullah, lalu beliau minum sambil berdiri." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3776, Shahih Bukhori no. 1528, Sunan Tirmidzi no. 1803, Sunan an-Nasa’i no. 2915, Sunan Ibnu Majah no. 3413 dan Musnad Ahmad no. 1741).
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
حَدَّثَنَا أَبُو السَّا بِِِ سَلْمُ بْنُ نََُادَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عُبَيْدِ اللََِّّ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَا عٍَِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَأْكُلُ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu as-Sa`ib Salm bin Junadah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari 'Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar dia berkata, "Pada masa Rasulullah saw. kami pernah makan sambil berjalan dan minum ketika berdiri." (diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3292, Sunan Tirmidzi no. 1801 dan Musnad Ahmad no. 4373)
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah
اَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا بَقِيَّةُ قَالَ حَدَّثَنَا ال ر بََيْدِ ر ي أَنَّ مَكْحُو ا لُ حَدَّثَهُ أَنَّ مَسْرُوقَ بْنَ الَْْ دََْعِ حَدَّثَهُ عَنْ
عَا شَِِةَ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَا اِِ ما وَقَاعِ ا دا وَيُصَلِّي حَا اَِ يا وَمُنْتَعِ ا لَ وَيَنْصَرِفُ عَنْ
يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; telah memberitakan kepada kami Baqiyyah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Az Zubaidi, telah menceritakan kepadanya Makhul telah menceritakan kepadanya, Masruq bin Al Azda' dari 'Aisyah dia berkata; "Aku melihat Rasulullah saw. minum ketika berdiri, atau sambil duduk. Beliau mengerjakan shalat tanpa alas kaki, dan kadang memakai sandal. Beliau juga beranjak dari sebelah kanannya, atau dari sebelah kirinya." (diriwayatkan oleh An-Nasa’i no. 1344 dan Musnad Ahmad no. 23428).
Setelah melakukan takhrij dengan hasil tersebut diatas, maka kritik matan dapat dilakukan dengan dipermudah adanya redaksi lain dari hadis yang dikaji dan ternyata hadisnya mukhtalif. Kritik matan yang pertama dilakukan berupa kajian kebahasaan atau linguistik, lalu kajian kontradiktif, serta kajian historis. Berikut pemaparannya:
a. Kajian Kebahasaan
8
Jika diperhatikan hadis yang membolehkan dan melarang minum ketika berdiri, semuanya adalah hadis fi’li, kecuali satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang larangan minum ketika berdiri yang diriwayatkan oleh Muslim no. 3775 dan dalam Musnad Ahmad no. 7985. Adanya hadis fi’li tersebut menyebabkan terdapat banyak redaksi matan hadis. Meski demikian, seluruh matan hadis yang membolehkan minum ketika berdiri, di dalamnya selalu terdapat kata شرب dan kata قأما .
Kata شرب menurut Raghib al-Ashfihani adalah meminum segala benda-benda cair baik itu berupa air atau yang lainnya.9 Dengan demikian kata شرب hanya dikhususkan untuk menunjukkan aktifitas memasukkan benda-benda cair ke dalam mulut lalu menelannya. Sedangakan kata قام berarti lawan kata dari kata duduk. Dengan demikian kata قام menunjukkan kondisi orang yang sedang tegak kedua kakinya.10 Dalam redaksi hadis tentang bolehnya minum ketika berdiri kata قام berkedudukan menjadi khal dengan menggunakan redaksi isim fa’il yaitu قأما . Dalam ilmu nahwu, khal menunjukkan keterangan tentang kondisi seseorang, dengan demikian, ini menunjukkan bahwa Rasulullah memang pernah minum ketika berdiri.
Sedangkan kata kunci dari hadis-hadis yang melarang minum ketika berdiri adalah kata زجر untuk menunjukkan larangan, شرب dan kata قأما . Dalam riwayat Muslim no. 3774, menggunakan kata نهى untuk menunjukkan larangan. Dalam riwayat muslim no. 3775, hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang berbentuk qauli menggunakan redaksi ا لَ ياشْ ا ربانَّ أا ا حدٌ مِنْكُمْ
قاائِمًا , menggunakan bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) yang disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Dengan demikian dalam hadis-hadis yang melarang minum ketika berdiri terdapat tiga variasi redaksi yang menunjukkan larangan yaitu kata زجر , نهى dan kata ا لَ ياشْ ا ربانَّ .
Kata زجر mempunyai arti nahyu dan man’u yang berarti melarang dan mencegah. Jika kata zajara digunakan dalam konteks hewan, maka maknanya bisa mengusir dengan suara yang lantang.11 Kata نهى dalam kamus Lisan al-Arab berarti lawan dari perintah (al-Amr) dengan demikian kata naha berarti larangan.12 Menurut Raghib al-Ashfihani naha berarti zajru ‘an al-asyya’ (melarang melakukan sesuatu). Dengan demikian kata naha dan kata zajara adalah sinonim. Sedangkan kata ا لَ ياشْ ا ربا ن menggunakan bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) dan disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Menurut ilmu Balagah, kalimat yang menggunakan taukid (penguat) itu lebih kuat larangannya daripada kalimat yang
9 Raghib al-Ashfihani, Mufradat al-Fadz al-Qur’an, hlm. 21,. Al-Maktabah al-Syamilah.
10 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz. 12, hlm. 496, . Al-Maktabah al-Syamilah.
11 Ibid, juz. 4, hal. 318.
12 Ibid., juz. 15, hal 343.
9
tidak menggunakan taukid.13 Dengan demikian redaksi نا لَ ياشْ ا ربا merupakan bentuk redaksi paling kuat dibandingkan dua redaksi lainnya, sedangkan hadis yang dikaji menggunakan kata naha sebagai larangan.
b. Kajian Kontradiktif
Pemakalah menggunakan metode al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebelum mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut, pemakalah akan memaparkan pendapat-pendapat ulama’ dalam mengkompromikan hadis-hadis tersebut: Pertama, sebagian ulama’ berpendapat bahwa minum ketika berdiri hukumnya boleh (mubah). Kedua, sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh.14 Ketiga, Sebagian ulama’ berpendapat bahwa adanya hadis tentang bolehnya minum ketika berdiri menunjukkan bahwa minum ketika berdiri adalah boleh, sedangkan adanya larangan tentang minum ketika berdiri menunjukkan bahwa hal tersebut lebih disukai oleh Nabi (mustahab), dan hal tersebut lebih utama dan sempurna.15
Dalam ushul fiqh, ulama’ berbeda pendapat mengenai hakikat makna nahyu ketika tidak terdapat inidikasi (qarinah) yang menunjukkan ke-nahyu-annya, apakah bermakna karahah, atau tahrim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika tidak terdapat indikasi (qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna karahah atau makruh. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika tidak terdapat indikasi (qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna al-tahrim atau haram dan pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. Dari sini dapat disimpulakan bahwa nahyu tidak selalu bermakna haram (al-tahrim) tetapi juga dapat bermakna makruh tergantung indikasi-indikasi (qarinah-qarinah) yang menunjukkannya. Selain itu haram bisa bergeser menjadi makruh apabila terdapat indikator-indikator yang menunjukkan kemakruhannya.16
Jika kita analisis hadis-hadis tentang minum sambil berdiri dengan teori ushul fiqh tersebut, maka sebenarnya larangan minum ketika berdiri itu tidak murni terlepas dari indikasi (qarinah) yang menunjukkan keharamannya, karena masih ada hadis-hadis lain yang memperbolehkannya, hal ini menunjukkan bahwa larangan minum ketika berdiri tidak bersifat haram secara mutlak. Selain itu, tidak terdapat implikasi (biasanya berbentuk ancaman, adzab dan lain-lain) yang disebabkan ketika seseorang minum sambil berdiri. Dari sini, pemakalah menyimpulkan bahwa larangan minum sambil berdiri hukumnya adalah makruh dalam artian
13 Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Husnu al-Shiyagah, (Rembang: Maktabah al-Barakah, 2008), hal.25.
14 Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bari, Syarhu Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), Juz. 10, hal. 82,. Al-Maktabah al-Syamilah.
15 Ibid.,
16 Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Batsair, ttt), hal.45.
10
ketika seseorang minum sambil berdiri ia tidak mendapatkan dosa atau melanggar syari’at dan ketika seseorang tersebut tidak mengerjakannya ia akan mendapatkan pahala, dengan demikian minum sambil duduk hukumnya adalah nadb atau disukai oleh Nabi.
c. Kajian Historis
Pada umumnya, analisa historis dilakukan dengan berpusat pada peng-analisa-an asbabul wurud. Namun tidak selalu setiap teks hadis memiliki asbabul wurud. Namun para ulama kontemporer, seperti Fazlurrahman memunculkan sebuah teori baru bahwa asbabul wurud hadis ada yang berbentuk mikro dan makro. Dalam hal ini dipahami bahwa asbabul wurud mikro terkadang memang tidak ditemukan, tapi sebaliknya asbabul wurud makro selalu bisa ditemukan dibalik teks sebuah hadis, dengan cara menganalisis lebih jauh tentang kehidupan Nabi, sahabat, dan lingkungan masyarakat Arab ketika itu.
Dalam penelitian penulis sejauh ini belum bisa menemukan aspek asbabul wurud mikro dari hadis-hadis tentang larangan minum sambil berdiri. Sedangkan mengenai asbabul wurud makro, pemakalah mencoba melihat hadis-hadis tersebut dari perspektif etika bangsa Arab. Bahwa ketika itu masyarakat Arab disimbolkan dengan ke-jahiliyah-an, tidak mempunyai tata krama, dan wataknya yang keras. Kedatangan Nabi Muhammad saw. disatu sisi adalah untuk mengubah komunitas masyarakat ini menjadi lebih beradab dan lebih berakhlak. Rasulullah saw. bersabda :
إنما بعثت رحمة ولم أبعث عذاب اً .
Artinya: Saya hanya diutus sebagai pembawa rahmat, saya tidak diutus untuk membawa adzab.17
Dalam riwayat lainnnya, Abu Hurairah RA meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda :
إنما بُعِثتُ لأتمم صالح الأخلاق .
Artinya: Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.18
Dari sisi lingkungan geografis, melihat bahwa anjuran Nabi untuk minum sambil duduk tidak terlepas dari kondisi alam wilayah Arab yang dipenuhi oleh gurun pasir. Dengan bentangan alam yang tandus ini mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan persediaan air. Maka sudah sewajarnya mereka akan mempergunakan air yang ada dengan sebaik-baiknya untuk mencukupi semua kebutuhan. Ketika seseorang minum sambil duduk, hal ini menggambarkan suatu kondisi
17 Fakhrudin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz 11, hal 81 dalam . Al-Maktabah al-Syamilah,
18 HR. Ahmad no. 381/2
11
ia minum dengan tenang dan tidak terburu-buru, sehingga air tidak ada yang tertumpah (mubadzir).19 Berbeda dengan minum ketika berdiri –terlebih berjalan, atau berlari-- yang terkesan sebagai sikap tergesa-gesa, sehingga air yang diminum mempunyai kemungkinan akan mudah tumpah, terbuang percuma. Penulis menduga bahwa pertimbangan Nabi dari faktor inilah yang menyebabkan adanya hadis tentang larangan minum sambil berdiri.
Hadis tentang Nabi pernah minum sambil berdiri tidak dapat dipungkiri adalah hadis yang shahih, maka sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh Nabi dalam keadaan darurat saja. Saat musim haji tiba, kantong-kantong air (bejana) terbuat dari kulit hewan diletakkan dengan cara digantung di pintu gerbang Kuffah, sehingga situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya adalah dengan posisi berdiri. Di sisi lain, saat itu suku-suku bangsa di Arab merupakan bangsa nomaden, yaitu seringnya mereka berpindah-pindah lokasi atau tempat tinggal untuk menggembala ternak-ternak mereka dan mencari sumber air (oase) maupun sumber makanan bagi ternak-ternak tersebut.20 Dengan kondisi demikian, maka minum sambil berdiri adalah hal yang wajar, hal ini menunjukkan bahwa Rosul pernah minum sambil berdiri namun bukan suatu yang menjadi kebiasaan bagi Rosul.
4. Kontekstualisasi Hadis
a. Minum Sambil Berdiri dalam Perspektif Teori Kedokteran
Dalam konteks minum sambil berdiri, pemakalah menemukan dua perbedaan pendapat dalam ilmu kedokteran tentang minum sambil berdiri, yaitu ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri dapat membahayakan kesehatan dan ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri tidak membahayakan kesehatan.
 Pendapat yang mengatakan membahayakan
Secara medis minum sambil duduk lebih menyehatkan ketimbang sambil berdiri berdiri. Sebab dalam tubuh manusia terdapat jaringan penyaring (filter) atau yang lazim disebut sfringer, yaitu suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka dan menutup. Ketika filter dalam posisi tertutup, air yang dikonsumsi sambil berdiri langsung masuk hingga ke kantong kemih tanpa proses penyaringan. Akibatnya terjadi pengendapan di saluran ureter. Selain itu, saat berdiri manusia sebenarnya dalam keadaan tegang, keseimbangan pusat saraf sedang bekerja keras agar mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya. Sebaliknya dalam posisi duduk, saraf dalam keadaan tenang.
19 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1, Mei 2016, hlm. 168.
20 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan”, hlm. 168.
12
Dampak buruk lain dari minum sambil berdiri adalah refleksi saraf. Hal itu diakibatkan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus, terlebih 95% penyebab luka pada lambung terjadi di tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Meskipun dampaknya tidak terjadi secara langsung, sebaiknya ketika makan atau minum dilakukan sambil duduk daripada sambil berdiri atau bahkan sambil tidur-tiduran.21
 Pendapat yang mengatakan tidak membahayakan kesehatan
Menurut ahli Urologi22, tidak ada perbedaan ketika orang minum ketika duduk maupun berdiri. Anggapan bahwa air minum tidak melewati proses penyaringan didasari asumsi bahwa beberapa katup menuju ginjal menjadi tidak aktif ketika seseorang minum dalam posisi berdiri. Meski minum sambil duduk memang lebih nyaman, kenyataannya ketika berdiripun sebenarnya tidak masalah.
Menurut Dr. Ponco Birowo, SpU, Ph.D, ahli Urologi dari RS Cipto Mangun Kusumo, tidak ada hubungannya dengan sikap minum, mau sambil duduk atau berdiri air tetap butuh waktu berjam-jam untuk sampai ginjal. Menurutnya, penyaringan air minum tidak serta merta terjadi begitu saja pada saluran menuju ginjal. Ketika masuk kerongkongan, minuman apapun terlebih dahulu akan ditampung lalu mengalami penyerapan di lambung yang prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam.
Terkait anggapan bahwa ada semacam katup atau sfinger yang menjadi tidak aktif saat berdiri, dibantah oleh Dr. Ponco. Menurutnya, selama tidak ada gangguan kesehatan pada saluran kemih, sfinger akan tetap berfungsi baik dalam posisi duduk maupun berdiri. Menurutnya, fungsi sfinger adalah mengatur keluarnya air kencing, bukan untuk menyaring air minum yang masuk ke ginjal.
Menurutnya, minum sambil duduk kadang lebih dianjurkan dengan alasan lebih sopan, namun bukan berarti bisa meningkatkan kesehatan ginjal. Untuk menjaga kesehatan gijal, yang harus dilakukan adalah banyak minum air putih agar kotoran-kotoran bisa larut sehingga lebih mudah disaring oleh ginjal.23
Kesimpulannya adalah sebenarnya dalam perspektif ilmu kedokteran minum ketika berdiri masih menjadi bahan perdebatan. Dengan demikian, teori-teori kedokteran masih belum bisa menjawab hadis-hadis tentang minum ketika berdiri yang saling tampak bertentangan
21 www. Fhm.co.id, diakses pada 04 Oktober 2016
22 Menurut KBBI Urologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit saluran kemih, dan ahli urologi disebut Urolog.
23 www. Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
13
tersebut. Pemakalah tidak mengetahui teori mana yang paling benar karena keterbatasan pemakalah dalam bidang kedokteran.
b. Minum Sambil Berdiri Ditinjau dari Perspektif Etika
Seperti yang telah disampaikan oleh Rosul Saw.
أاكْ ا ملُ الْمُؤْمِنِي ا ن إِي ا مانًا أاحْ ا سنُهُمْ خُلُقًا .
Artinya: Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.24
Term kata akhlak, yang mempunyai bentuk jamak al-khuluq mempunyai arti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: "gambaran batin seseorang".25 Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :
1. Gambaran dhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh atau fisik manusia. Dan gambaran dhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
2. Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan-perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.26
Dalam KBBI, kata akhlak diartikan budi pekerti; kelakuan. Dari pengertian ini pemakalah lebih memilih untuk memakai istilah kata etika, kata yang mempunyai implikasi makna yang hampir sama dengan akhlak dalam konteks Indonesia. Karena etika berkaitan dengan norma dan nilai yang baik dan buruk yang berlaku di sebuah komunitas masyarakat.
Etika yang dijadikan pegangan dalam suatu komunitas masyarakat akan ditimbang berdasarkan sistem nilai yang berlaku. Nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang telah menjadi kesepakatan bersama secara turun temurun kemudian akan menjadi barometer bagi setiap anggota komunitas dalam bersikap. Dengan kapasitasnya sebagai nilai, maka melanggar kesepakatan nilai akan berimplikasi pada konsekuensi sanksi sosial, yang terkecil adalah pengucilan dan cacian.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, minum ketika berdiri dipandang sebagai perilaku yang tidak terpuji karena dipandang tidak sopan. Jika hadis tentang larangan minum sambil
24 HR. Al-Dharimi, no. 2672
25 Imam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Akhlakul Karimah. Terj. Abu Musa al-Atsari. Maktabah Abu Salma, hal. 3.
26 Ibid.,
14
berdiri dikontekstualisasikan, maka larangan hadis sambil berdiri tampaknya lebih relevan dalam konteks tradisi Indonesia, karena selain lebih dianjurkan oleh Nabi, hal itu merupakan konstruk budaya di Indonesia yang sudah dipandang sebagai etika dalam masyarakat. Dengan demikian, sudah sepatutnya untuk mematuhi etika yang berlaku di masyarakat. Misalnya ketika kita bertamu atau menghadiri hajatan, maka posisi duduk merupakan sebuah etika yang baik, pertanda kalau seseorang menghargai sang tamu, sehingga pemilik rumah juga berkenan untuk menghidangkan minuman. Disaat duduk juga seseorang bisa lebih menikmati minuman atau makanan dengan santai.
Meski pada saat ini, terdapat kasus di masyarakat yaitu fenomena standing party. Secara sederhana, standing party adalah suatu pesta atau acara yang terdapat berbagai hidangan yang disajikan, baik makanan maupun minuman, namun para tamu menikmatinya dengan cara stand atau berdiri, dimana kursi yang disediakan penyelenggara pesta sangat terbatas, mungkin hanya untuk keluarga atau kalangan khusus, dan tidak sebanding dengan tamu yang banyak, sehingga sebagian besar tamu menikmati hidangan sambil berdiri.27 Standing party sengaja dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran. Fenomena ini sekarang menjadi tren, sebenarnya standing party adalah budaya barat yang kurang cocok diterapkan di Indonesia yang lebih condong pada budaya ke-timuran.
Contoh lain adalah pada para pembeli dari penjual es atau jajanan keliling yang tidak menyediakan kursi bagi pembelinya, tapi ini adalah tergantung dari kebijakan pembeli untuk mencari tempat duduk sebelum menyantap makanan dan minuman. Lalu bagaimana jika terpaksa? Seperti analisis diatas, bahwa hukum minum sambil berdiri adalah makruh, maka jika terpaksa harus minum sambil berdiri maka tidak mendapat dosa, dan akan mendapat pahala jika minum atau makan sambil duduk.
Selain itu, minum sambil berdiri terkesan ada unsur terburu-buru, sehingga tingkat ketenangan orang yang minum sambil berdiri tidak sama dengan ketenangan orang yang minum sambil duduk. Ketika seseorang dalam posisi sangat haus, kemudian ia langsung minum sambil berdiri, ini menunjukkan keterburu-buruan atau ketergesa-gesaannya karena posisinya yang sedang haus. Berbeda dengan orang yang haus kemudian duduk lalu minum, hal ini menunjukkan tidak terburu-buru, karena seseorang harus duduk terlebih dahulu untuk menenangkan diri kemudian minun. Nabi juga menjelaskan bahwa keterburu-buruan merupakan perilaku setan:
الْأانااةُ مِنْ اللََِّّ ا والْ ا ع ا جلاةُ مِنْ الشَّيْطاانِ .
27 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan”, hlm.157
15
Artinya: Sifat hati-hati (waspada) itu dari Allah dan tergesa-gesa itu godaan dari setan.
C. Kesimpulan
Hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri bersifat mukhtalif, namun dengan metode Jam’u wa Taufiq serta pendapat jumhur ‘ulama, dapat disimpulkan bahwa larangan makan atau minum sambil berdiri bersifat makruh dan tidak sampai haram. Dari perspektif kedokteran juga terdapat perbedaan bahwa minum sambil berdiri sehat atau tidak. Akan tetapi jika dilihat dari perspektif etika dengan konteks Indonesia, makan dan minum sambil berdiri adalah hal yang melanggar norma dan etika yang ada, sehingga akan lebih baik jika makan dan minum dilakukan sambil duduk. Pentingnya mentaati norma dan etika yang terdapat dalam masyarakat dan anjuran Rosul Saw menunjukkan akhlak yang baik bagi seorang Muslim.
Hadis yang melarang minum sambil berdiri merupakan hadis qouli dan hadis yang memboleh adalah hadis fi’li. Pada hakekatnya, minum sambil berdiri itu dilarang namun dalam kondisi tertentu menjadi dibolehkan. Nabi Muhammad pernah minum sambil berdiri namun bukan menjadi kebiasaan beliau minum sambil berdiri.
Daftar Pustaka
Software Mausu’ah al-Hadis al-Syarif
Software Lidwa Pusaka Sembilan Imam.
Software. Al-Maktabah al-Syamilah.
Tahdzibul Kamal dalam Software Jawami’ al-Kalim V.4.5.
www. Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
A.F.‘Abdul Hayyi, Hanbal. 1979. Syaradat adz-Dzahab. (mashr: dar alfikr) cet ke-1.
Ahmad, Sutarmadi. 1998. Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm Hadits dan Fiqh/ pengantar. (Jakarta : Logos).
Aprilia, M., “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1, Mei 2016.

tafsir hadist kealaman - hujan

A. Pendahuluan
Fenomena alamiah yang terjadi di sekitar kita seperti hujan telah menjadi pembahasan dalam al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu. Tetapi pembahasan dalam al-Qur’an tentang hal ini menjelaskannya secara global. Proses ini tidak bisa kami hukum secara langsung, tetapi terjadi beberapa hepotesis dan teori atas turunnya  hujan, diantaranya yang sangat kentara yaitu karena perintah Allah SWT. Proses-proses ini baru diketahui ketika manusia memiliki ilmu pengetahuan yang baru memadai untuk dapat dikaji melalui ilmu pengetahuan pada akhir abad 20an.
Para ahli Fisika dan Meterologi dengan kemampuan penelitian Laboratorial mereka mampu menjelaskan proses turunnya hujan dengan cara detail, mereka telah berhasil meemukan bukti-bukti proses turunnya hujan sebagai struktur unik yang diturunkan oleh Tuhan. Serta beberapa Ulma Mufassir menjelasakan uniknya proses ini sebagaimana yang disampaikan oleh para ilmuan. Ini sebagai salah satu landasan bagaimana para ulama tafsir dalam menafsirkan sebuah ayat dalam al-Qur’an menggunakan penelitian ilmiah. Bagaimana proses-proses ini dilakukan akan di jelaskan dalam makalah ini dengan dua versi yaitu al-Qur’an itu sendiri bagaimana menjelasakannya yang diikuti bagaimana penjelasan detail oleh para ilmuwan menggunakan teknologi modern dengan kecanggihan fasilitasnya, lalu apa aja menfaat dari hujan itu sendiri.
B. Proses turunnya hujan

QS. An-Nuur [24] : 43 _  Proses Terbentuknya awan
أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُزۡجِي سَحَابٗا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيۡنَهُۥ ثُمَّ يَجۡعَلُهُۥ رُكَامٗا فَتَرَى ٱلۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلَٰلِهِۦ وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن جِبَالٖ فِيهَا مِنۢ بَرَدٖ فَيُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَيَصۡرِفُهُۥ عَن مَّن يَشَآءُۖ يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهِۦ يَذۡهَبُ بِٱلۡأَبۡصَٰرِ ٤٣
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”

Penafsiran:
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb dijelaskan أَنَّ ٱللَّهَ يُزۡجِي سَحَابٗا ( sesungguhnya Tangan Allah mengarak awan), kemudian awan tersebut dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain untuk dikumpulkan dan dihimpun sehingga awan menjadi saling menindih. Maka ketika awan telah mencapai berat yang dikehendaki, hujan pun turun dari celah-celahnya disertai pula bongkahan-bongkahan es dalam bentuk gunung yang besar dan lebat. Dimana diantara bongkahan tersebut terdapat butiran-butiran es yang kecil.
يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهِۦ يَذۡهَبُ بِٱلۡأَبۡصَٰرِ  (Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”) ungkapan ini timbul untuk menyempurnakan keserasian dengan wacana cahaya yang sangat besar dalam alam semesta yang terhampar luas. Demikianlah cara al-Qur’an menggambarkan keserasian dalam deskripsinya.
Penjelasan Sains:
Berdasarkan ayat al-Qur’an surat an-Nuur: 43, dapat kita pahami, bahwa proses terjadinya hujan ialah karena adanya awan. Sehingga untuk mengetahui bagaimana hujan terbentuk hendaknya kita juga harus mengetahui apa itu awan dan bagaimana proses pembentukan awan hujan sehingga bisa menurunkan air hujan ke bumi.
Dalam buku “kasih sayang Allah dalam hujan”, dipaparkan:
bahwa porses pembentukan awan ialah karena adanya radiasi matahari yang ada di permukaan bumi. Bentuk permukaan bumi yang sangat bervariasi bentuk topografinya akan mempengaruhi tingkat kelembapan udara atau uap air di permukaan bumi. Daratan yang mengandung uap air tinggi akan lebih cepat membentuk awan. Energi tinggi yang diperlukan untuk menguapkan air yaitu 580 kalori tiap 1 gram uap air. Uap air yang ada di permukaan bumi akan dipanasi oleh radiasi matahari secara konveksi, adveksi, atau secara konduksi, sehingga mengangkat massa uap air di permukaan bumi ke atas, pada ketinggian tertentu uap air tersebut mengalami kondensasi. Pada ketinggian kondensasi ini akan terbentuk butiran-butiran air yang disebut embun. Butiran-butiran air yang telah mengembun dan melayang-layang di udara tersebut di namakan awan.
QS. ar-Ruum [30] : 48 _ Proses terbentuknya hujan
ٱللَّهُ ٱلَّذِي يُرۡسِلُ ٱلرِّيَٰحَ فَتُثِيرُ سَحَابٗا فَيَبۡسُطُهُۥ فِي ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ يَشَآءُ وَيَجۡعَلُهُۥ كِسَفٗا فَتَرَى ٱلۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلَٰلِهِۦۖ فَإِذَآ أَصَابَ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦٓ إِذَا هُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ ٤٨
 “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal (kisafan); lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Penjelasan mengenai kata  كِسَفٗا (bergumpal-gumpal) dalam QS. ar-Ruum: 48, sesuai dengan fakta ilmiah dimana hujan terbentuk karena adanya awan stratus. Awan ini akan terbentang secara horizontal dan membentuk lapisan sepanjang 200 kilometer. Ia akan memanjang dari lapisan pertama paling bawah, lapisan kedua, lapisan ketiga, kemudian lapisan keempat dan seterusnya.
Awan stratus tidak dapat menghasilkan kilat, guntur dan butiran-butiran es, tetapi hanya menurunkan hujan saja. Namun, awan ini tidak selamanya dapat menurunkan hujan, jika empat lapisan awan tidak berkumpul menjadi satu. Maka apabila hanya tiga lapisan yang berkumpul, hujan akan tetap akan terbentuk tetapi tidak akan sampai jatuh ke bumi, karena telah menguap di udara. Penjelasan lebih lanjut mengenai proses turunnya hujan akan dijelaskan sebagai berikut:
Fase ke-1:  ٱللَّهُ ٱلَّذِي يُرۡسِلُ ٱلرِّيَٰحَ  (Allah, Dialah yang mengirim angin)
  Gelembung-gelembung udara yang tidak terhitung jumlahnya terbentuk akibat pembentukan buih di lautan. Saat gelembung-gelembung ini pecah menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam dengan diameter 1/1000, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut "perangkap air".
Fase ke-2:  فَتُثِيرُ سَحَابٗا فَيَبۡسُطُهُۥ فِي ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ يَشَآءُ وَيَجۡعَلُهُۥ كِسَفٗا (lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal).
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.
Fase ke-3:   .....فَتَرَى ٱلۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلَٰلِهِۦۖ (lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya....)
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita pahami bahwa al-Qur’an yang telah diturunkan dalam kurun waktu 14 abad lalu, telah menjelaskan proses turunnya hujan dengan sangat jelas dan detail. Kemudian fenomena ini mampu dijelaskan secara ilmiah. Sehingga, terbuktilah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber yang hakiki.
C. Hujan Memberikan banyak manfaat
Secara keseluruhan, air yang ada di bumi selalu dalam kondisi stabil, tetap dan terukur sesuai dengan kebutuhan mansia. Adanya siklus antara uap dan hujan berfungsi memurnikan air bumi, dimana terdapat triliunan populasi makhluk dengan segala bentuk dan ragam kehidupannya yang hidup dan mati dalam setiap waktu. Adanya siklus ini juga berfungsi menjaga keseimbangan suhu panas di atas permukaan bumi dan meminimalisir teriknya panas matahari di musim panas.
Rata-rata curah hujan yang turun ke permukaan bumi mencapai 85,7 cm kubik per tahun. Volume ini berkisar antara nol di kawasan-kawasan padang pasir yang kering dan tandus hingga 11,45 m kubik per tahun di kepulauan Hawaii. Jumlah keseluruhan air yang menguap ke lapisan gas bumi setiap tahun tetap, begitu pula total keseluruhan uap air yang dibawa lapisan gas ini, maka total air hujan yang turun ke bumi setiap tahunnya pun tetap sama. Oleh karena itu, air pun membawa banyak manfaat bagi kehidupan.
QS. al-Nahl [16] : 65 _ air hujan menyuburkan tumbuhan
وَٱللَّهُ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَآۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَسۡمَعُونَ ٦٥
“Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).”
Penafsiran:
Sayyid Quthb menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa مَآءٗ air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Teks ayat ini menetapkan kehidupan bagi bumi secara keseluruhan dan meliput segala makhluk hidup di atasnya, baik berakal maupun yang tidak berakal.
QS. Al-Furqan [25] : 48-49
وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ ٱلرِّيَٰحَ بُشۡرَۢا بَيۡنَ يَدَيۡ رَحۡمَتِهِۦۚ وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ طَهُورٗا ٤٨ لِّنُحۡـِۧيَ بِهِۦ بَلۡدَةٗ مَّيۡتٗا وَنُسۡقِيَهُۥ مِمَّا خَلَقۡنَآ أَنۡعَٰمٗا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرٗا ٤٩
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”
Tafsiran:
Di jelaskan dalam tafsir “Fi Zhilalil-Qur’an” bahwa kehidupan di muka bumi ini seluruhnya berasal dari air hujan, baik secara langsung maupun melalui aliran sungai. Juga dari sumber air, mata air, dan sumur yang mengalirkan air dari dalam tanah yang pada dasarnya berasal dari air yang merembes ke perut bumi dari hujan tersebut.
Penjelasan Sains:
Air hujan mengandung banyak mineral dan zat-zat yang bermanfaat bagi makhluk hidup (dalam kasus ini tumbuhan). Air hujan berasal dari uap air salah satunya dari air laut yang mengandung zat-zat tertentu yang bisa menyuburkan tanah. Sehingga daerah yang dulunya gersang bisa ditumbuhi oleh tanaman. Uap air yang naik ke langit berasal dari air laut yang pada lapisan mikronya terdapat banyak sisa orgnaik yang disebabkan oleh matinya zooplankton dan ganggang mikroskopik dan berbagai unsur lainnya. Supangat dan mawanah menjelaskan diperoleh data sekitar 92 unsur alami dalam air laut baik berupa logam atau non-logam. Unsur-unsur tersebut terangkat ke atas langit kemudian menguap, proses ini pada akhirnya menghasilkan butiran-butiran tegangan permukaan yang kaya akan zat penyubur tanah atau pupuk seperti unsur-unsur Na, Ca, Mg, K dsb selain logam dalam bentuk koloid (aerosol) yang dapat menambah kesuburan. 
a. Siklus Hidrologi
 
Siklus hidrologi pada umumnya terbagi menjadi 4 tahap, yaitu: evaporasi, presipitasi, infiltrasi, dan limpasan permukaan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Evaporasi
Evaporasi adalah proses perubahan air dari bentuk cair menjadi gas atau yang biasa dikenal dengan pemuaian. California energy mengatakan bahwa hasil evaporasi adalah 90% uap air pada atmosfer yang berasal dari samudera, laut, sungai, danau, dan tanah. Salah satu kebesaran Allah adalah dapat mengubah air menjadi kumpulan gas di atmosfer dengan bantuan sinar matahari, yang disebut dengan awan dengan bentuk yang bergumpal-gumpal. Lebih jelasnya lihat gambar sebagai berikut:
*
Adapun fase-fase terjadinya evaporasi perinciannya sebagai berikut:
1) Di atas permukaan laut dan samudera, gelembung udara yang tak terhitung jumlahnya terbentuk akibat pembentukan buih. Pada saat gelembung-gelembung ini pecah, ribuan partikel kecil, dengan diameter seperseratus milimeter. Partikel kecil ini lebih ringan daripada udara di sekitarnya. Sehingga partikel ini terdorong dengan sendirinya ke atas.
2) Partikel-partikel ini, yang dikenal sebagai aerosol, bercampur dengan debu daratan yang terbawa oleh angin, dan selanjutnya terbawa ke lapisan atas atmosfir.
3) Partikel-partikel ini dibawa naik lebih tinggi ke atas oleh angin, dan bertemu dengan uap air di sana. Uap air mengembun di sekeliling partikel-partikel ini dan berubah menjadi butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini mula-mula berkumpul dan membentuk awan.

2. Presipitasi
أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُزۡجِي سَحَابٗا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيۡنَهُۥ ثُمَّ يَجۡعَلُهُۥ رُكَامٗا فَتَرَى ٱلۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلَٰلِهِۦ وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن جِبَالٖ فِيهَا مِنۢ بَرَدٖ فَيُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَيَصۡرِفُهُۥ عَن مَّن يَشَآءُۖ يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهِۦ يَذۡهَبُ بِٱلۡأَبۡصَٰرِ ٤٣
43. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.
Menurut Thantawi Jauhari, firman Allah “mengarak” maknanya adalah mengarakkannya perlahan lahan dan lembut, seperti pengembala mengarak ontanya, dia mengaraknya dengan lembut, dan angin menggerakkan awan. Kemudian sesudah itu antara yang satu dengan yang lainnya bersambung satu sama lain, dan berkumpul satu sama lain kemudian Dia “menjadikannya betindih tindih” antara satu sama lain layaknya pasir yang saling bertindih maksudnya terkumpul. Begitulah proses pembentukan awan yang selanjutnya menjadi hujan atau presipitasi.
Proses presipitasi merupakan peristiwa jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi(hujan). Ketika air diuapkan matahari dalam proses evaporasi, uap air tersirkulasikan di atmosfer, kemudian terkondensasi menjadi zat cair. Menurut KBBI, istilah kondensasi atau pengembunan adalah perubahan uap air atau benda gas menjadi benda cair pada suhu udara di bawah titik embun dan menjadi gumpalan yang disebut dengan awan. Awan hujan merupakan gumpalan besar yang luasnya bisa berkisar 20 hingga 260 m² dan memiliki ketebalan antara 9.000 hingga 12.000 m.
Terjadinya proses prepitasi karena beberapa faktor, yaitu: kelembapan udara, energi matahari, angin, suhu udara. Dari berbagai faktor tersebut, maka proses prepitasi terjadi dalam bentuk yang bermacam-macam. Sehingga terdapat berbagai macam proses prepitasi yang ada, berikut ini adalah klasifikasinya:
1.  Hujan konvektif, hujan yang terjadi karena proses konveksi dari hasil proses pemansan. Massa udara ini lebih ringan dan kemudian terdorong ke atas. Awan yang terbentuk melalui proses konvektif adalah awan yang tumbuh secara vertikal yaitu culumbus atau comulonimbus yang umumnya menghasilkan hujan lebat. Hujan konvektif ini umum terjadi di daerah tropis.
2. Hujan Frontal, tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Pada tipe hujan ini, massa udara lembab yang hangat dipaksa bergerak ketempat yang lebih tinggi. Tergatung pada tipe hujan yang dihasilkanya, hujan frontal dapat dibedakan menjadi hujan frontal dingin dan hangat. Hujan badai dan hujan monsoon adalah tipe hujan frontal yang lazim dijumpai.
3. Hujan Orografik, jenis hujan yang umum terjadi didaerah pegunungan, yaitu ketika massa udara dipaksa bergerak ketempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sehingga kondensasi makin cepat dengan semakin rendahnya suhu dan meningkatnya ketinggian. Apabila ukuran butir air sudah cukup besar dan telah terjadi proses pematangan, maka huja akan turun meski belum mencapai puncak. Tipe hujan orografik di anggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai karena berlangsung di daerah hulu.
b. Infiltrasi
Proses infiltrasi adalah gerakan perjalanan air ke dalam tanah atau peresapan sebagai akibat kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (ke arah vertical). Air yang meresap ke dalam tanah sebagian akan tertahan oleh partikel-partikel tanah dan menguap kembali ke atmosfer, sebagian lagi diserap oleh tumbuhan dan yang lain akan terus meresap di bawah permukaan bumi hingga zona yang terisi air yaitu zona saturasi sebagaimana telah disebutkan dalam Q.S. Al-Mukminun ayat 18. Air yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian tersimpan di bawah permukaan bumi yang tak dapat ditembus oleh air sehingga disebut air tanah. Air yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian tersimpan di bawah permukaan bumi yang tak dapat ditembus oleh air sehingga disebut air tanah. Dalam pernyataan ayat yang mulia tersebut merupakan isyarat bahwa segala air yang ada di dalam perut bumi itu diperoleh dari air yang turun dari awan melalui jalan turunnya hujan.
c. Limpasan permukaan
Proses limpasan permukaan merupakan peristiwa meluapnya air ke permukaan bumi. Ketika zona saturasi terus terisi oleh air maka air tersebut akan mencari cara untuk meloloskan diri ke permukaan bumi. Tetapi tanah tidak mampu menyerap air, maka air permukaan ini mencari celah untuk mengalir di antara palung sungai dan danau. Sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 17 yang artinya:
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Kesimpulan
Mengenai proses penurunan hujan atau lebih terkenal dengan siklus hujan, telah ditemukan secara global pada al-Qur’an yang berumur lebih dari 14 abad yang manusia baru menemukannya di akhir abad 20an. Setelah diteliti dapat disimpulkan bagaimana dahsyatnya al-Qur’an ketika diturunkan hingga saat ini, Karena di zaman nabi belum ada peralatan modern yang meniliti turunnya hujan, akan tetapi hal ini telah dijelasakan dalam al-Qur’an. Siklus hujan menurut pemakalah memiliki 3 fase. Fase-fase tersebut ialah proses awal bagaimana hujan terbentuk, proses akhirnya yaitu apa yang selalu kita lihat setiap hari. 

kitab sulubus salam

A. Biogarfi
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Isma’il bin Shalah bin Muhammad bin Ali Al- Amir Ash-Shan’ani, yang nasabnya tersambung  kepada salah satu amirul mukminin yaitu sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ash-Shan’ani lahir pada  tanggal 15 Jumadil Akhir tahun 1099 H di kota Kahlan, yang merupakan bagian dari negeri Yaman. Beliau wafat pada hari Selasa, 3 Sya’ban tahun 1182 H pada usia beliau yang ke 83 tahun.
Ia menimba ilmu dari ulama yang berada di kota Shan’a lalu kemudian beliau rihlah (melakukan perjalanan) ke kota Makkah dan membaca hadits dihadapan para ulama besar yang ada di Makkah dan Madinah. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu sehingga ia mengalahkan teman temannya yang satu angkatan dengannya. Ia menampakkan kesungguhannya, berhenti ketika ada dalil, jauh dari taklid dan tidak memperdulikan pendapat pendapat yang tidak ada dalilnya. Ia mendapatkan banyak ujian sebagaimana ujian yang dialami oleh Nabi dan para sahabat serta penerus-penerusnya. Selain menguasai beberapa displin ilmu, beliau juga dikenal sebagai orang yang wara’, zuhud, dan takut kepada Allah.
Dalam perjalannya menimba ilmu, ia mempunyai banyak guru, di antaranya: al-Allamah Shalah bin Husain Al-Kahlani dan al-Allamah Zaid bin Muhammad bin Al-Husain bin Al-Qasim. Adapun murid-muridnya sangat banyak, di antaranya: Ahmad bin Muhammad Qathin, Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdil Qadir bin An-Nashir (guru Asy-Syaukani) dan Ahmad bin Shalih bin Abi Ar-Rijal.
Sangat banyak orang yang datang  berbondong-bondong untuk menimba ilmu dari beliau, mulai dari orang-orang yang khusus maupun masyarakat umum. Mereka membaca dihadapan beliau berbagai kitab kitab hadits dan mengamalkan ijtihad-ijtihad beliau yang kemudian mereka tunjukkan kepada khalayak umum pada masa itu.
Selama hidupnya beliau banyak menulis karya, di antaranya:
1. Subulus Salam Syarah Bulugh Al-Maram
2. Isyradu An-Naqqad ila Taysir Al-Ijtihad
3. Tathhitu Al-I’tiqad an Adrani Al-ilhad

B. Spesifikasi Kitab Subulus Salam
Judul lengkap kitab ini adalah Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, yang merupakan syarah dari kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Kitab ini memuat hadis-hdis beserta penjelasannya terkait dengan hukum fiqih dan ditutup dengan Kitab al-Jami’ (bab-bab yang menjelaskan tentang adab dan akhlaq). Selain sebagai ulasan terhadap kitab Bulughul Maram, kitab Subul As-Salam juga merupakan ringakasan dari syarah Al-Qadhi al-Allamah Syarafuddin Al-Husain bin Muhammad Al-Maghribi.
Tujuan penulis dalam mensyarahi dan meringkas kitab syarah Al-Qadhi al-Allamah Syarafuddin Al-Husain bin Muhammad Al-Maghribi adalah semata-mata hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT, serta dalam rangka memudahkan para penuntut ilmu dan pemerhati dari kitab hadis tersebut. Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juga tidak menyebutkan perbedaan-perbedaan dan komentar-komentar, kecuali jika sangat dibutuhkan. Ash-shan’ani juga menghindari peringkasan yang dapat menghilangkan substansi kitab aslinya dan pengulangan yang sangat berlebihan karena menurutnya hal tersebut akan menimbulkan dampak membosankan terhadap para pembaca. Dengan argumen di atas, maka Ash-Shan’ani memberikan nama kitab tersebut dengan nama Subul Al-Salam Al-Mushilah Ila Bulugh Al-Maram. 

C. Metode dan Sistematika Penulisan Kitab Subulus Salam
1. Metode
Secara umum, imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam menggunakan metode deskriptif-analisis. Sebagaimana dijelaskan oleh beliau dalam muqaddimah-nya:
“saya meringkasnya dari Syarah Al-Qadhi Allamah Syarafuddin AL-Husain bin Muhammad Al-Maghribi, -semoga Allah memulikn tempatnya dalam surga ‘illiyin-, dengan mengurai lafazh dan menerangkan maknanya. Dengan tujuan mendapatkan ridha dari Allah”.

Secara terperinci metode yang digunakan oleh Ash-Shan’ani akan dijabarkan sebagaimana di bawah ini:
a. Dalam mencantumkan sebuah hadis, Ash-Shan’ani memberikan keterangan tambahan bahwa hadis tersebut dikeluarkan oleh imam-imam hadits.
b. Dalam mencantumkan sanad Ash-Shan’ani hanya mencantumkan nama rawi pertama dan nama mukharrij.
c. Menyertakan biografi singkat perawi hadis
d. Menyertakan penjelasan kalimat secara global.
e. Menyertakan tafsir hadits secara terperinci.
2. Sistematika
Adapun sistematika penulisan kitab Syarah Subulus Salam adalah sebagai berikut:
No
Bab
Sub-Bab
1.
Muqaddimah Tahqiq
-
2.
Biografi Al-Hafizh Ibnu Hajar
-
3.
Biografi Ash-Shan’ani
-
4.
Pendahuluan
-
5.
Kitab Thaharah
10 Sub-Bab
6.
Kitab Shalat
17 Sub-Bab
7.
Kitab Jenazah
-
8.
Kitab Al-Zakat
3 Sub-Bab
9.
Kitab Al-Shiyam
2 Sub-Bab
10.
Kitab Al-Hajji
6 Sub-Bab
11.
Kitab Al-Buyu’
22 Sub-Bab
12.
Kitab Al-Nikah
6 Sub-Bab
13.
Kitab Al-Thalaq
-
14.
Kitab Al-Ruj’ah
6 Sub-Bab
15.
Kitab Al-Jinayat
4 Sub-Bab
16.
Kitab Al-Hudud
5 Sub-Bab
17.
Kitab Al-Jihad
2 Sub-Bab
18.
Kitab Al-Ath’imah
3 Sub-Bab
19.
Kitab Al-Iman wa Al-Nudzur
6 Sub-Bab
D. Kekurangan dan Kelebihan
Subulus Salam yang merupakan buah karya dari seorang manusia mempunyai kesamaan dengan karya-karya yang lain, yaitu memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kekurangan dan kelebihan dari kitab Subulus Salam adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan
a.
2. Kelebihan
a. Menyertakan keterangan status hadis dalam footnote
b. Mencantumkan beberapa pendapat ulama’ fiqh
c. Mencantumkan beberapa pendapat ulama’ hadis terkait status sanad dan mtan hadis tersebut.
d. Penyajian sistematika dan ulasannya termasuk sempurna
e. Mencantumkan istilah-istilah hadis dan indeks nama ulama hadis pada halaman terakhir.

E. Contoh hadits
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الماء طهور لا ينجسه شيء. أخرجه الثلاثة، وصححه أحمد.
Artinya: “Dan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu ia berkata “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuaupun yang dapat menajiskannya.” (HR. Ats-Tsalatsah dan dishahihkan oleh Ahmad).

Biografi Perawi
Abu said, nama lengkapnya adalah Sa’id bin Malik bin Sanin Al-Khazraji Al-Anshari. Al-Khudri dinisbatkan kepada Khudrah, salah satu suku Anshar, sebagaimana dalam Al-Qamus.
Adz-Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama para sahabat yang menyaksikan Bai’ah Asy-Syajarah. Meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa dalam beberapa waktu.
Abu Sa’id meninggal pada awal tahun 74H dalam usia 86 tahun. Banyak sekolompok sahabat meriwayatkan hadits darinya. Ia memiliki hadits sebanyak 84 hadis dalam Ash-Shahihain.
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang tiga, yaitu para penyusun Kitab Al-Sunan kecuali Ibnu Majah, sebagaimana yang sudah diketahui, dan dishahihkan oleh Ahmad. Dalam Mukhtashar As-Sunan, ada beberapa pendapat mengenai hadits di atas. Pertama, Al-Hafizh Al-Mundziri berkata, “Sesungguhnya sebagian mereka mengomentarinya, dan diceritakan  dari Imam Ahmad bahwa ia berkata, “Hadits sumur Budha’ah shahih.”
Kedua, At-Tirmidzi berkata, “ini hadits hasan shahih.” Abu Usamah menganggap baik hadits ini. Tidak ada hadits Abu Sa’id mengenai sumur Budha’ah yang lebih baik dari yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalur dari riwayat Abi Sa’id.
Adapun Asbabun Nuzul hadits di atas adalah ketika Rasulullah Shallallhau ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Apakah kami boleh berwudlu dari sumur Budha’ah”, yaitu sumur tempat membuang kain-kain bekas haidh, bangkai anjing, dan barang-barang busuk? Maka beliau menjawab, “Air itu suci.” Penjelasan yang demikian yang terdapat dalam Sunan Abi Dawud,
Perlu diketahui, bahwa penulis dalam syarahnya telah mengomentari dengan panjang lebar dan menyebutkan pandangan-pandangannya terkait dengan maslah air dengan sangat memadai. Dalam membahas masalah air ini, penulis hanya mengambil dalil-dalil terkait yang penting. Di antara dalil yang dipakai penulis terkai dengan masalah air, adalah sebagai berikut:
 الماء طهور لا ينجسه شيء
“Air itu suci dan tidak ada sesuatu yang dapat menjadikannya najis.”
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
“Apabila air itu telah sampai dua qullah, maka tidak mengandung kotoran.”
Ada beberapa pula hadis yang memuat perintah menuangkan air sebanyak satu timba pada tempat yang terkena air seni orang Badui dalam Masjid:
إذا استيقظ أحدكم فلا يدخل يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثا
“Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka janganlah ia masukkan tangannya ke dalam bejan hingga ia mencucinya tiga kali.”
لا  يبولن أحدكم في الماء الدائم ثم يغتسل فيه
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang tenang (air yang tidak mengalir).”
Hadits-hadits tersebut disebutkan oleh penulis bahwa kesemuanya adalah hadits yang kuat. Terlepas dari itu, penulis juga menyertakan pendapat-pendapat ulama’ tentang  kadar air dan sifat air. Ada beberapa pendapat yang berbeda dari beberapa ulama’ sebagaimana berikut ini:
1. Al-Hadawiyah berpendapat dalam membatasi air sedikit tergantung kepada si pemakai. Jika si pemakai merasa air itu banyak maka air tersebut dianggap sebagai air yang banyak dan mensucikan. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat:
Pertama, Al-Hanafiyah berkata, “Batasan air yng banyak adalah air yang apabila seseorang menggerakkan salah satu ujungnya, gerakan tersebut tidak sampai pada ujung yang lain dan selain itu berarti air dikategorikan sedikit.
Kedua, Asy-syafiiyah berkata, “Air yang banyak adalah air yang sampai dua qullah menurut ukuran qulah bani Hajar, yaitu sekitar 500 liter, dan jika kurang dari ukuran tersebut berarti air tesebut termasuk ke dalam air sedikit.
2. Pendapat lain, bahwa laragan dalam hadits-hadits ini hanyalah makruh, tapi ia suci dan mensucikan.
Kesimpulannya, mereka menghukumi bahwa jika najis mengalir pada air yang sedikit dapat membuatnya najis dan jika air  yang mengalir pada najis, maka najis tersebut tidak membuatnya najis.