Senin, 23 Oktober 2017

KONSEP RIBA MENURUT K.H. BISRI MUSTHOFA DALAM KITAB TAFSIR AL-IBRIZ


PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Riba dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti bunga bank, rente, dan lintah darat, riba adalah sebuah kata yang sebenarnya adalah salah satu kosa kata bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa Indonesia karena masyarakat sering menyebutnya di percakapan sehari-hari, sedangkan dalam agama Islam riba adalah tambahan sesuatu yang di kembalikan dari orang yang meminjam sesuatu kepada sang peminjam, sedangkan secara bahasa riba adalah rangkaian  huruf ra’, ba’, dan huruf illat yang mempunyai arti sama dengan ziyadah yaitu tambah dan tumbuh. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang seakar dengan kata riba, meskipun masing-masing kata mempunyai pengertian teknis yang berbeda tetapi terdapat unsur kesamaan seperti rabiyan dalam surah Ar-Ra’ad yang artinya mengapung di atas yang menggambarkan lebih tingginya  sesuatu di atas permukaan air, dan lain-lain. Sedangkan pengertian riba menurut syara’ yang bermadzhab Syafi’I riba adalah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukurannya, waktu transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang dipertukarkan.
Riba ada dua jenis yaitu riba nasi’ah dan riba fadal. Riba nasi’ah adalah transaksi yang dilakukan oleh orang Arab jahiliyah, dimana si peminjam harus mengembalikan sesuatu yang di pinjam kepada yang meminjami dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang di pinjam, sedangkan riba fadal adalah pertukaran barang jenis A kemudian harus di kembalikan oleh si peminjam dengan barang jenis B dengan jumlah yang lebih banyak dengan masa waktu tertentu .
Islam mengharamkan riba dengan segala bentuknya, larangan riba terdapat di nash Al-Qur’an dan hadits Rosululloh, Salah satu ayat pelarangan riba terdapat di surah Ali-Imron ayat 130, yakni:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Alloh mengharamkan riba secara jelas dan menerangkan bahwa riba adalah salah satu bentuk pemerasan yang dilakukan oleh golongan ekonomi kuat ke golongan ekonomi rendahdan juga mengandung unsur penganiayaan.
Dengan riba, pada umumnya bahkan kebanyakan pihak yang berhutang adalah kaum ekonomi lemah (dhuafa) yang tidak mampu mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan, jika tidak bisa mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan, pihak yang berhutang dipaksa melipat gandakan pembayaran utangnya dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran.Riba seperti ini disebut riba nasi’ah (penundaan) dan dalam ayat tersebut di hukumkan haram secara juz’I (sebagian), artinya riba yang diharamkan hanya yang bersifat berlipat ganda (ad’afan mudho’afah).
Riba adalah sesuatu hal yang paling dilarang oleh Alloh karena sangat merusak, mulai sistem ekonomi sampai sosial, oleh karena itu Alloh mengharamkan dan memberi hukuman bagi seluruh unsur yan terlibat didalam praktek riba, mulai dari orang yang melakukan, yang mencatat,dan saksinya dengan siksaan yang pedih seperti apa yang telah diriwayatkan Rosululloh didalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim bin Jabir  “Rosululloh mengutuk orang yang makan riba, orang yang memberi makan dari riba, dua saksinya, dan penulisnya”. Kemudian di dalam hadits Rosululloh yang diriwayatkan oleh Ibnu Jabir dan ad-Dunya dari al-Bara’ Rosululloh bersabda “Riba itu mempunyai Sembilan puluh Sembilan pintu, yang paling ringan dosa dari yang tersebut adalah seperti (dosa) orang yang berzina dengan ibunya”.
Riba sudah dilakukukan sejak zaman nabi,bahkan sejak zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah, pelarangan riba pun sudah ada sejak zaman tersebut karena memang ada salah satu bahkan diantara orang yang melakukan riba pasti mengalami kerugian dan bahkan tersiksa, tetapi atas sifat Alloh yang maha adil dan bijaksana serta melihat keadaan yang sesuai pada saat itu, Alloh menurunkan ayat-ayat pelarangan riba secara bertahap, bertahap disini bukan berarti Alloh pada mulanya menghalalkan riba, tetapi yang di maksud bertahap adalah bahwa Alloh sebagai pencipta alam semesta ini sangat bijaksana dan Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang bagi makhlukNya. Itu dibuktikan Alloh dengan mengutus manusia pilihan dan manusia paling utama untuk menutup para utusan Alloh di bumi yaitu menurunkan Nabi Agung Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rosul terakhir dan manusia terpilh yang mempunyai tugas untuk menyempurnakan akhlaq dan menerima wahyu Alloh berupa Al-Qur’an sebagai kitab penyempurna dari kitab-kitab Alloh sebelumya sekaligus sebagai mukjizat beliau.
Alloh menurunkan ayat-ayat riba dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu empat tahap.
1. Tahap pertama Alloh menurunkan wahyu berupa ayat 39 surat Ar-Rum yang berbunyi
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
 Artinya:
(Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)).
Dalam Ayat tersebut Alloh mencela riba dan memuji zakat, ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu tidak baik dan tidak ada manfaatnya sama sekali bagi pelakunya karena tidak mendapatkan pahala disisi Alloh SWT. Sebaliknya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa perbuatan yang baik serta terpuji adalah zakat karena bermanfaat bagi pelakunya juga orang lain dan ini adalah perbuatan yang disukai Alloh yang akan menghasilkan pahala disisi Alloh SWT.
2. Tahap kedua Alloh menurunkan surat An-Nisa’ ayat 161 yang berbunyi
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
 Artinya:
(Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih).

3. Tahap ketiga Alloh menurunkan surat Ali-Imron ayat 130 yang berbunyi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan).
Alloh  di dalam ayat tersebut mulai menjelaskan pelarangan riba secara jelas dan menerangkan bahwa riba bersifat penganiyaan karena di situ terdapat unsur-unsur ketidak adilan dan pemerasan, karena kebanyakan yang meminjam atau berhutang adalah masyarakat ekonomi lemah kepada masyarakat ekonomi kuat. Dengan riba, pada umumnya atau bahkan kebanyakan kaum dhuafa (lemah) tidak bisa mengembalikan hutangnya kepada peminjam,jika tidak bisa mengembalikan hutangnya kepada pihak yang meminjamkan, pihak yang berhutang dipaksa melipat gandakan pembayaran hutangnya dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran, artinya semakin lama pihak yang berhutang belum melunasi hutangnya kepada pihak yang meminjamkan, maka dia harus mengembalikan jumlah hutangnya lebih dari jumlah yang ia terima saat di pinjami. Riba semacam ini adalah riba nasi’ah (penundaan) yang ayat Al-Qur’an tersebut diatas di hukumkan haram sebagian (juz’i), maka yang di haramkan adalah yang berlipat ganda (ad’afan mudho’afah).
4. Tahap keempat Alloh berturut-turut menurunkan ayat 275, 276, dan 279 surat Al-Baqoroh yang berbunyi secara berturut-turut

ينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون
 Artinya:
(Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya). Al-Baqoroh:275

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

 Artinya:
(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa). Al-Baqoroh:276

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya:
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman). Al-Baqoroh:278.
Beberapa ayat tersebut telah membuktikan bahwa Alloh jelas mengharamkan riba, khususnya di dua tahapan ayat yang terakhir turun sangat jelas dan Alloh mutlak, jelas, serta tidak ada keraguan lagi atas pengharamannya, bahkan Alloh juga memerintahkan manusia agar meninggalkan sisa riba yang berlipat ganda yang belum di pungut.
Sementara K.H. Bisri Musthofa dalam kitab tafsir karangan beliau yaitu Tafsir Al-Ibriz Fi Ma’rifati Tafsiri Al-Qur’an Al-Aziz atau yang biasa di kenal dengan Tafsir Al-Ibriz, mbah Bisri (sapaan akrab K.H. Bisri Musthofa) adalah salah satu ulama kharismatik di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, beliau adalah pendiri pondok pesanten Roudlotut Tholibin Rembang dan juga ayah dari ulama dan penyair yaitu K.H. Musthofa Bisri (Gus Mus). Semasa hidup beliau di kenal sangat tegas dalam berfatwa khususnya tentang halal dan haram tanpa kompromi karena hal tersebut harus dan wajib di sampaikan kepada umat Islam dengan jujur apa adanya tanpa di kurangi ataupun di tambahi seperti yang terjadi di sebagian ulama yang mengurangi atau menambahi hukum Alloh seperti ada ulama yang membolehkan dan memghalalkan riba padahal riba sudah jelas-jelas di haramkan oleh Alloh apapun bentuknya serta tetek bengeknya. Penulis sangat ingin mengangkat tema ini karena betapa bahayanya riba dan efek domino yang di timbulkan olehnya yang dapat merusak tatanan kehidupan di sektor ekonomi dan kemanusiaan yang baik serta Islami dimana seharusnya semua masyarakat saling pengertian dan saling membantu jika ada yang kesusahanmenjadi masa bodoh dan acuh tak acuh. Penulis ingin meneliti lebih dalam tentang tafsir Al-Ibriz khususnya pendapat mbah Bisri tentang pelarangan riba dalam tafsir Al-Ibriz  karena di dalamnya  menjelaskan bahwa riba adalah sesuatu yang di haramkan Alloh serta menjelaskan pengertian riba, seperti tafsiran Beliau di ayat 130 surat Ali-Imron. “Ada riwayat pada zaman jahiliyah ada orang yang berhutang (umpamanya Zaid) kepada (umpamanya Umar) sejumlah (seribu rupiah umpamanya) yang kemudian Zaid berjanji akan mengembalikan hutangnya pada (umpamanya tanggal 1 muharom) tetapi dia belum bisa mengembalikan hutangnya dengan tepat waktu, kemudian Umar mengatakan kewajibanmu membayar hutang saya undur menjadi (umpamanya tanggal 1 shofar) tetapi kamu harus mengembalikan hutangmu sejumlah seribu seratus rupiah, nah yang seratus itu yang dinamakan riba. Hutang piutang semacam ini sangat dilarang oleh Islam karena menyiksa salah satu pihak”.
Karena betapa sangat pentingnya hal ini, penulis ingin mengangkat permasalahan ini sebagai tema penelitian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep riba di tafsir Al-Ibriz ?
2. Bagaimana menerapkan hidup tanpa riba menurut K.H. Bisri Musthofa?

C. Tujuan dan Signifikansi
1. .Tujuan
a. Untuk mengetahui konsep riba menurut K.H. Bisri Musthofa di dalam tafsir Al-Ibriz.
b.  Untuk mengetahui bagaimana hidup tanpa riba.
2. Signifikansi
a. Agar menambah wawasan dalam dunia akademik khususnya hukum Islam.
b. Agar masyarakat mengetahui konsep riba menurut K.H. Bisri Musthofa.

D. Telaah Pustaka
Bunga Bank dalam Islam, karangan Abu Sura’I Abdul Hadi, di dalamnya terdapat ayat-ayat pelarangan riba dan mencoba menerangkan riba menurut beberapa ulama salaf yang secara jelas mengharamkannya dan ulama yang agak lunak dengan permasalahan ini, akan tetapi beliau kurang menjelaskan secara lebih detailmengapa para ulama berbeda pendapat tentang nash yang sudah jelas hukumnya, hal ini membuat semangat penulis untuk lebih mengeksplor pendapat-pendapat ulama seperti pendapat K.H.Bisri Musthofa.
Muhammad Yusuf Qordhowi dalam bukunya yang berjudul Haruskah Hidup dengan Riba yang berisi rangkuman hasil pertemuan ulama-ulama salaf di Mesir yang membahas pengharaman riba dimana di forum tersebut mengumpulkan ulama-ulama dari empat madzhab besar yaitu Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi di buku ini terasa terlalu singkat untuk tingakatan pertemuan para ulama’ dunia yang membahas masalah yang sangat krusial.
Buku Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam karangan Sugeng Widodo, di mana buku ini mencoba menelaah lebih dalam tentang riba yang terjadi di sektor ekonomi khususnya di lembaga-lembaga keuangan, akan tetapi beliau seakan-akan tetap berpendapat dan tidak mempermasalahkan adanya riba di lembaga tersebut dengan jelas bahwa itu haram karena mungkin beliau kurang menggali dalil serta tafsir-tafsir maupun pendapat ulama tentang riba dan efek dominonya.

E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu jenis penelitian yang objek penelitian utamanya adalah buku-buku kepustakaan terutama yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas.
Adapun metode yang di gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-halatau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.
2. Sumber Data
Penulis menggunakan beberapa sumber data dalam mengumpulkan data-data yaitu:
a. Sumber data primer
Suber data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunkan alat pengambil data langsung pada subjek sebagai informasi yang dicari. Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka sumber data primer yang penulis gunakann yaitu kitab Tafsir Al-Ibriz


b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder atau data tangan kedua adalah sumber bahan kajian yang digambarkan oleh bukan orang yang ikut mengalami atau yang hadir pada waktu kejadian yang berlangsung.Yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah data sekunder yang mengambil data dari buku-buku yang ada hubungannya dengan penelitian ini.Data tersebut dikumpulkan berdasarkan kategori dasar yang sesuai dengan pokok permasalahan yaitu seputar Riba. Data tersebut diantaranya diambil dari buku yang berjudul “Tipu Daya Orientalis” (Jakarta: Media Dakwah, 1979) karya Musthofa As-Siba’I, kitab tafsir Jalalain (Beirut:Dar al-Kutub Islamiyah, 1997) karya Imam Suyuthi.
F. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah ada, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu penelitian yaitu merupakan teknik analisis yang dilakukan dalam rangka mencapai pemahaman terhadap sebuah fokus kajian yang kompleks, dengan cara memisahkan tiap-tiap bagian dari keseluruhan fokus yang dikaji atau memotong tiap-tiap adegan atau proses kejadian sosial atau kebudayaan yang sedang diteliti
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini terdiri dari 4 bab yang masing-masing bab terperinci pada beberapa sub dan merupakan satu kesatuan utuh pokok pembahasan.
Bab satu merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, telaah pustaka, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab dua membahas seputar Riba yang meliputi pengertian, dan penafsiran  riba di kitab tafsir Al-Ibriz.
Bab tiga membahas bagaimana hukum riba, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Bab empat berisi tentang penutup, kesimpulan, dan saran untuk penulis.

1 komentar:

  1. Saya penasaran bagaimana jadinya riba menurut kh bisri musthofa apakah beliau memperbolehkan atau tidak. Di dalam pembahasan ini hanya menjelaskan tentang pendahuluan saja.

    BalasHapus