Nama
: Faisal wafi
NIM
: 14530023
Mata
kuliah : Pemikiran Tafsir Kontemporer
Teori
Kritik Syahrur Atas Pemikiran Arab-Islam Kontemporer
Tugas
interpretasi al-Qur’an dalam historinya telah membuktikan bahwa
tafsir berkembang terus seakan tidak pernah berhenti. Perkembangan
itu sendiri sangat kompleks dan menyangkut banyak variabel yang tidak
sedikit, mengacu kepada aspek aspek seperti asumsi, historisitas,
wacana, serta penemuan teori “pembacaan” al-Qur’an yang berbeda
dari setiap periode. Hal ini dapat ditilik dari hasil penafsiran yang
keluar dari beberapa tokoh yang membawa karakteristik pembeda antara
satu dengan lainnya.
Peradaban
islam telah berlalu paruh terahir abad ke-20 M. Tepi peradaban islam
sejak permulaan abad 20 masih saja menyuguhkan islam sebagai aqidah
dan etika tanpa menyentuh dimensi filosofis dalam aqidah itu sendiri,
hal inilah mulanya yang mejadi titik tumpu pemikiran Muhamad syahrur.
Menurutnya perkembangan islam mengalami stagnansi dan tidak mampu
memecahkan problem fundamental pemikiran keislaman, karena masih
dipenuhi berbagai taqlid dan doktrin tanpa pengkajian.
Pembaruan
proyek penting bagi sejumlah harakah
islamiyah
saat ini dengan berbagai perbedaan dalam memandang pembaharuan
tersebut diaplikasikan. Secara pembagian, mengacu pada istilah
as-Syaukani, bahwa pemikiran Syahrur berasal dari abduh yang
notabene menjadi bagian “islam kiri”. Pemikiran yang ingin
diperkenalkan adalah sebuah gerakan reformis yang mengembangkan
pemikirannya berdasarkan metodologi barat yang bercorak liberal.1
Dalam
melakukan pembaharuan interpretasi dalam studi al-Qur’an, syahrur
menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek
Filologi (fiqh
al-lughah).2
Dimana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinan kepada anti
sinonimitas istilah dalam al-Qur’an, yaitu bahan awal teori
interpretasinya ; al-kitab
terbagi kepada al-Qur’an
dan
umm al kitab.
Penulisan
saat ini mungkin tidak menerawang jauh menuju tawaran yang di berikan
syahrur, namun hanya sebatas asumsi awal yang menjadi dasar keresahan
syahrur untuk melakukan pembaharuan dalam “pembacaan ulang”
terhadap teks teks keagamaan. Dalam menjabarkan kritik Syahrur atas
masalah ini, beliau memunculkan beberapa masalah dasar dalam
pemikiran arab (islam) kontemporer, sebagai berikut : pertama,
para pemikir muslim tidak mempunyai metode ilmiah objektif sebagai
pegangan. Yaitu dalam mengreinterpretasi ayat ayat suci seharusnya
mereka menerapkan sikap objektif terhadap makna ayat itu sendiri
tanpa adanya keberpihakan pengamat.
Kedua,
seringkali terjadi prakonsepsi dalam memandang sebuah “term”
sebelum adanya kajian. Para pemikir muslim berkesimpulan lebih dahulu
sebelum mengadakan penelitian dengan mendasarkan kepada asumsi yang
dibangunnya sendiri, contohnya seperti tema “perempuan dalam
islam”. Mereka berasumsi bahwa posisi perempuan dalam islam sudah
proposional dan islam adalah agama yang bersikap paling adil terhadap
perempuan. Sehingga apapun yang dikerjakannya selalu didasarkan atas
asumsi ini, padahal setiap persoalan yang akan dikaji menuntut adanya
pembahasan ilmiah yang objektif, terbebas dari segala klaim barulah
kemudian melakukan pendekatan dengan berbagai metode yang ada.
Ketiga,
pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep konsep filsafat humaniora
serta tidak berinteraksi dengan dasar dasar teorinya. Dalam
mengenalkan hal ini saya mengutip perkataan syahrur :3
“kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh hasil pemikiran
manusia sejak zaman yunani hingga saat ini adalah sebuah kesalahan.
Jika saya berpendapat bahwa segala yang dihasilkan pemikiran manusia
merupakan sebuah entitas, sedangkan islam adalah entitas yang
berbeda. Dengan kata lain kita hendak mengatakan bahwa apapun yang
terlintas dalam benak kita bukanlah islam yang sesungguhnya, maka
akan muncul pertanyaan yang tidak mungkin untuk dijawab, apakah islam
itu? Pertanyaan ini menandakan bahwa sampai saat ini tidak ada
definisi yang sempurna atas islam. Tetapi jika saya berpendapat bahwa
hal yang dikemukakan oleh pemikiran manusia ada yang sempit dan ada
yang luas, ada yang benar dan salah, maka hal ini berarti kita
sebagai muslim mampu berinteraksi secara positif dengan seluruh
pemikiran manusia tanpa khawatir atau takut. Akan tetapi sebelum
interaksi positif ini dilakukan secara sempurna, kita sebagai orang
arab atau muslim harus memiliki standar fleksibel yang memungkinkan
kita berinteraksi tanpa harus takut. Standart itulah yang selama ini
belum ada.”
Keempat,
dalam mengemukakan masalah yang berkaitan dengan ilmu humaniora,
tidak terdapat teori islam kontemporer yang diimpor langsung dari
al-Qur’an, yang mana dengan teori itu kita bisa memberi pencerahan
tentang cara berpikir ilmiah pada diri setiap muslim, dan melakukan
islamisasi pengetahuan. Hal inilah yang menurut syahrur menyebabkan
tafakkuk
al-fikri,
yaitu terjebak pada pemikiran yang statis dan wawasan yang sempit
(tidak terbuka dalam berpikir). Tanpa adanya sebuah epistem yang
diharapkan bisa menampung sisi keurangan dan kelebihan, pasti akan
selalu muncul reduksi, simplifikasi dan sempitnya wawasan. Maka dari
itu dalam bukunya syahrur Hermeneutika
al-Qur’an Kontemporer banyak
menyorot bahasan bahasan mengenai problematika pengetahuan manusia
melalui pendekatan filsafat.
Kelima,
saat era kontemporer seperti saat ini, terdapat banyak problematika
yang semakin kompleks khusunya dalam mewadahi fiqh moderen yang
syahrur sebut sebagai “krisis ilmu fiqih”, kita butuh sebuah
pemahaman moderen mengenai sunah nabi serta adanya rekonstruksi
sekaligus dekonstruksi untuk mewadahi warisan madzahib fiqih.
Kita
tidak bisa memecahkan masalah tersebut sebelum menemukan teori
otentik dalam ilmu humaniora (jadal
al-insan)
yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karena menurut syahrur
sebuah pijakan filosofis pasti mampu memecahkan persoalan fiqih yang
sesuai dengan keadaan aktual.
Demikianlah
beberapa dasar masalah yang ingin diungkapkan syahrur mengenai
pemikiran arab(islam) kontemporer, tentunya point point diatas masih
perlu pembacaan yang serius untuk memahami secara keseluruhan tentang
teori “batas” nya yang terkenal baik pro dan kontra. Namun
meskipun begitu pembaca diharapkan akan mengerti sedikit mengenai apa
yang harus diketahui lebih awal dari pemikiran syahrur.
1
A. Luthfi assyaukanie, Tipologi dan Wawancara
Pemikiran Arab Kontemporer, dipublikasi di
http://media.isnet.org/islam/paramadina/jurnal/arab2.html,
diakses tanggal 11 desember pukul 20.15
2
Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqh menuju Ijtihad
Kontekstual, Yogyakarta : fakultas syari’ah press, 2004, hlm
150
3
Muhammad Syahrur, al kitab wa al Qur’an,
terjemah syahiron syamsudin, yogyakarta : eLSAQ Press, 2004, hlm 40