Senin, 23 Oktober 2017

HADIS SOSIAL (Etika Makan dan Minum)



Hadis tentang Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri

Abstrak
Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an bagi umat Islam. hadis yang dapat dipakai adalah hadis yang shahih sanad dan matannya. Terdapat banyak metode dalam memahami hadis terutama hadis yang kontradiktif. Hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri menjadi kontroversi bagi kalangan ‘ulama karena bertentangan dengan hadis yang menyatakan Rosul pernah melakukannya. Indonesia adalah negara dengan sebagian besar budaya dan normanya diadopsi dari Timur. Makan dan minum sambil duduk adalah salah satu norma yang diajarkan turun temurun bagi masyarakat Indonesia. Mulai pudarnya kesadaran akan norma bangsanya sendiri dan muncul kebiasaan baru bagi masyarakat yaitu makan dan minum sambil berdiri. Tidak hanya dari segi hadisnya yang kontradiktif, namun dari segi kesehatan ternyata terdapat perbedaan pendapat tentang sehat atau tidaknya minum sambil berdiri. Ada yang mengatakan bahwa makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan berbagai penyakit, dan adapula yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh sama sekali dari segi kesehatan makan dan minum sambil berdiri maupun sambil duduk. Kajian hadis kontradiktif mengenai larangan makan dan minum akan sangat menarik dan penting jika dikaji secara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Kajian kontekstualisasi dari perspektif kesehatan dan etika masyarakat Indonesia dapat menjadi pertimbangan untuk memahami metode apakah yang paling tepat untuk diterapkan. Metode Jam’u adalah metode yang paling tepat untuk diterapkan dalam kajian kontekstualisasi hadis. Dengan metode tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa larangan makan dan minum sambil berdiri adalah makruh. Hanya norma sosial yang dapat menuntut bahwa makan dan minum sambil berdiri dinilai kurang sopan bagi masyarakat Indonesia.
Kata kunci: makan minum sambil berdiri, hadis kontradiktif, kesehatan, etika.
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan mengajarkan akhlak yang baik pula pada pengikutnya. Secara tidak langsung, seiring tersebarnya Islam sampai ke Indonesia, ajaran-ajaran yang Rosul sampaikan kepada umat Muslim terserap dan membudaya bagi masyarakat Indonesia, sehingga menjadi norma bagi bangsa secara tidak tertulis.. Masyarakat Indonesia memiliki tingkat etika dan estetika tinggi yang terserap dalam norma-norma yang berlaku di masyarakat. Salah satunya adalah etika terhadap makan dan minum. Secara tidak tertulis, norma yang diajarkan dari orang tua adalah makan dan minum harus pakai tangan kanan, ketika makan tidak boleh sambil bicara, serta tidak etis bagi masyarakat Indonesia untuk makan dan minum sambil berdiri, melainkan dilakukan sambil duduk. Namun seiring
2
berjalannya waktu, globalisasi, dan tingkat kesadaran dari masyarakat yang rendah mengantarkan pada lunturnya norma yang terdapat pada elemen masyarakat.
Dalam hadis, terdapat larangan minum dan makan sambil berdiri, walaupun pada hadis yang lain, Rosul pernah minum sambil berdiri dalam kondisi tertentu. Adanya teks hadis dan nilai etis yang tertanam dalam masyarakat, maka sudah sepantasnya kita sadar akan masalah yang dihadapi dalam masyarakat atas sifat acuh yang dialami masyarakat terhadap norma yang tertanam dalam diri masyarakat. Akan menjadi menarik apabila teks hadis yang mukhtalif tentang boleh tidaknya makan dan minum sambil berdiri dikaji secara kontekstual baik dari perpektif kedokteran maupun perpektif etika yang berlaku, serta bagaimana kualitas hadisnya. Dengan ini, penulis akan mengkaji masalah “etika makan dan minum, hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri”. Kajian ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hadis sosial dan memberikan kesadaran akan pentingnya mengamalkan sunnah Rosul serta pentingnya memperhatikan etika yang berlaku dalam lapisan masyarakat.
Dari uraian diatas, permasalahan tentang larangan makan dan minum sambil berdiri dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kajian hadis dari segi sanad dan matan? Bagaimana kualitas hadisnya baik yang melarang dan yang membolehkan?
2. Bagaimana konteks hadis dan kontekstualisasi hadis jika dilihat dari perspektif kesehatan dan perspektif etika masyarakat Indonesia.
B. Pembahasan
1. Teks Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُل قَائِمًا . فَقِيل : الَْْكْل , قَال :
ذَاكَ أَشَ د .
Artinya: Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Adi menceritakan kepada kami, dari Sa'id bin Abu ‘Arubah, dari Qatadah, dari Anas, ia mengatakan: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang seseorang minum sambil berdiri”. Ditanyakan (kepada Rasulullah), "(Bagaimana dengan) makan?" Rasulullah menjawab, "Itu lebih (buruk) lagi". (HR. Tirmidzi no. 1879)1
2. Kritik Sanad
Jika sanad hadis diatas dibuat skema maka sebagai berikut:
Nabi Muhammad SAW
1 Lihat software lidwa pusaka sembilan imam.
3
Anas
Qotadah
Sa’id bin Abi ‘Arubah
Ibn Abi ‘Adi
Muhammad bin Basyar
Tirmidzi
a. Anas (w. 93)2
Nama lengkap : Anas bin Malik bin Nadhr bin Dhomdhom bin Zaid bin Harom
Nama masyhur : Anas bin Malik al-Anshori
Nama laqob : Dzul Udzunain
Tahun wafat : 93 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Abu Hatim ar-Rozi : Anas adalah pelayan Rosulullah
2. Abu Hatim bin Hibban : Anas adalah pelayan Rosul
3. Dzahabi : Anas adalah Shahabat
Nama Guru : Rosul Saw, Ibn Mas’ud adz-Dzahabi, Qois bin ‘Abdul ‘Uzza, Robi’ah bin Waqos, Yazid bin Tsabit al-Anshori, Ummu Salamah (istri Rosul), dll.
Nama Murid : Qotadah bin Da’amah, Qois bin Abi Hazim, ‘Umar bin Syakir al-Bashori, Marwan al-Waroq, Muhammad bin al-Aqtho’, Hasan bin Tamim, dll.
b. Qotadah (w. 117)3
Nama lengkap : Qotadah bin Da’amah bin Qotadah bin ‘Aziz bin ‘Amr bin Robi’ah
Nama masyhur : Qotadah bin Da’amah as-Sadusi
Nama kunyah : Abu al-Khattab
Tahun lahir : 61 H
2 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
3 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
4
Tahun wafat : 117 H
Jarh wa Ta’dil:
1. Daruquthni : Tsiqot
2. Yahya bin Mu’in : Tsiqot
3. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot tsubut dan al-Hafidz
Nama Guru : Anas bin Malik al-Anshori, Ishaq bin ‘Abdullah al-Hasyimi, Hasan bin ‘Abdullah al-‘Aroni, Qosim bin Robi’ah al-Ghotofani, Jarir bin ‘Abdullah, dll.
Nama Murid : Sa’id bin Abi ‘Arubah, ‘Imron bin Yazid al-Qotthon, ‘Imron bin Muslim, Sufyan bin Husain, Salam bin Muskin, Sufyan bin Habib al-Bisri, dll.
c. Sa’id bin Abi ‘Arubah (156 H)4
Nama lengkap : Sa’id bin Mahron
Nama masyhur : Sa’id bin Abi ‘Arubah al-‘Aduwi
Nama laqob : Ibn Abi ‘Arubah
Nama kunyah : Abu an-Nadzhor
Tahun wafat : 156 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijli : Tsiqot
3. Daruquthni : Tsiqot
Nama Guru : Qotadah bin Da’amah as-Sadusi, Ayyub bin Musa al-Qurosy, Ibrohim bin ‘Abdur Rahman, Sa’id bin Haml, dll.
Nama Murid : Ibn Abi ‘Adi, Ahmad bin Hanbal asy-Syibyani, Ibrohim bin Shodaqoh al-Bisri, Wahid bin Khalid, Hamam bin Yahya al-‘Udzi, dll.
d. Ibn Abi ‘Adi (w. 194 H)5
Nama lengkap : Muhammad bin Ibrohim bin Abi ‘Adi
Nama masyhur : Muhammad bin Ibrohim as-Salami
Nama laqob : Ibn Abi ‘Adi
Nama kunyah : Abu ‘Amr
Tahun wafat : 194 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2. Adz-Dzahabi : Tsiqot
3. Abu Hatim ar-Rozi : Tsiqot
Nama Guru : Sa’id bin Mahron, Ibrohim bin Sa’ad az-Zuhri, Isma’il bin Mu’in al-Makki, Yahya bin Sa’id al-Qotthon, Yazid bin Qois al-Azdi, dll.
Nama Murid : Muhammad bin Basyar, Ahmad bin Hanbal Asy-Syibyani, Ahmad bin Tsabit, ‘Ali bin Madini, ‘Amr bin ‘Ali al-Falasi, dll.
e. Muhammad bin Basyar (w. 167 H)6
4 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
5 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
6 Lih. Tahdzibul Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
5
Nama lengkap : Muhammad bin Basyar bin ‘Utsman bin Dawud bin Kisan
Nama masyhur : Muhammad bin Basyar al-‘Abdi
Nama laqob : Bindar
Nama kunyah : Abu Bakar
Tahun lahir : 167 H
Tahun wafat : 252 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijli : Tsiqot
2. Ibn Hajar al-‘Atsqolani : Tsiqot
3. ‘Abdur Rouf al-Manawi : Tsiqot
Nama Guru : Muhammad bin Ibrohim as-Salami, Sahl bin Hummad, Sa’id bin ‘Amir, Abu Dawud ath-Thiyalusi, Abu Dawud as-Sujastani, Sahl bin Yusuf, dll.
Nama Murid : Tirmidzi, Husein bin Mas’ud, Ibrohim bin ‘Abdullah az-Zabibi, Muhammad bin Ahmad al-Bisri, dll.
f. Tirmidzi (w. 279 H)7
Nama lengkap : Muhammad bin ‘Isa
Nama masyhur : Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi
Nama laqob : Abu Isa8
Tahun lahir : 209 H
Tahun wafat : 279 H
Jarh wa Ta’dil :
1. Abu Hatim Muhammad ibn Hibban : Tsiqot
2. Abu Ya’la al-Khalili : Tsiqot
3. Abu Sa’d al Idrisi : Tsiqot
Nama Guru : Muhammad bin Basyar, Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahuyah, Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, dll.
Nama Murid : Abu Bakr Ahmad bin Isma’il As Samarqandi, Abu Hamid Abdullah bin Daud Al Marwazi, Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri`, Ahmad bin Yusuf An Nasafi, Ahmad bin Hamduyah an Nasafi, Al Husain bin Yusuf Al Farabri, Hammad bin Syair Al Warraq, Daud bin Nashr bin Suhail Al Bazdawi, Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili, dll.
Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis ini memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad telah terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ittishal al-sanad (ketersambungan sanad), tsiqqahu al-ruwah (para perawinya kredibel), dhabtu al-ruwah (intelektualitas perawi), Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas perawi memiliki tingkatan yang Tsiqoh. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut.
3. Kritik matan
7 Sutarmadi Ahmad , Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm Hadits dan Fiqh/ pengantar, (Jakarta : Logos, 1998), hal.27.
8 Abu al-Falah ‘Abdul Hayyi Ibn al-Imam Hanbal, Syaradat adz-Dzahab, (mashr: dar alfikr, 1979) cet ke-1, jilid 2,hal.174.
6
Setelah diketahui sanad hadis diatas shahih, maka kritik matan perlu dilakukan untuk bisa mengetahui tujuan sebenarnya dari sebuah hadis dengan langkah awal adalah takhrij hadis. Setelah dilakukan takhrij hadis melalui software Mausu’ah al-Hadis, pemakalah menemukan dua variasi konten matan, yaitu ada hadis yang menjelaskan larangan minum sambil berdiri dan hadis yang membolehkannya, berikut beberapa hadis tersebut:
A. Hadis yang melarang minum sambil berdiri selain hadis diatas, sebagai berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَََََ عَنْ ال ر شرْبِ قَا اِِ ما .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bahwa Nabi Shallallahu A'laihi Wa Sallam melarang minum ketika berdiri. (diriwayatkan oleh Muslim no. 3771, Sunan Tirmidzi no. 1800, Sunan Abu Dawud no. 3229, Sunan Ibnu Majah 3414 dan Musnad Ahmad no.11740.).
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي عِيسَى الُْْسْوَارِيِّ عَ نْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَ لَّمَ رَََََ عَنْ ال ر شرْبِ قَا م اا .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu 'Isa Al Uswari dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang minum ketika berdiri. (HR.Muslim 3773).
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْ بَََّارِ بْنُ الْعَلََءِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَ ارِيَّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَمْ ةَََ أَخْبَرَنِي أَبُو غَطَفَانَ الْمُرِّ ر ي أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُُ قَالَ رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَُ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَا ا ما مَََنْ نَسِيَ لََْيَسْتَقِ .
Artinya: Telah menceritakan kepadaku 'Abdul Jabbar bin Al 'Alaa`; Telah menceritakan kepada kami Marwan yaitu Al Fazari; Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hamzah; Telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minum ketika berdiri, apabila dia lupa maka muntahkanlah." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3775 dan Musnad Ahmad no. 7985).
B. Hadis yang membolehkan minum sambil berdiri
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ النَّ اََّلِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِ يَ اللََُّّ عَنْهُ عَلَى بَابِ
الرَّحَبَةِ شَََرِبَ قَا اِِ ما قَََالَ إِنَّ نَا ا سا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَا مٌِِ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَََلَ
كَمَا رَأَيْتُمُونِي عَََلْتُ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu pernah datang dan berdiri di depan pintu Rahbah, lalu dia minum ketika berdiri setelah itu dia berkata;
7
"Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum ketika berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (diriwayatkan oleh Bukhori no. 5184 dan 5185, Sunan Abu Dawud no. 3230, Sunan an-Nasa’i no. 130 dan Musnad Ahmad no. 550).
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْ حََْدَرِ ر ي حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَ قَيْتُ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى
اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مََْ مَََ شَََرِبَ وَهُوَ قَا مٌ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al Jahdari; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Ashim dari Asy Sya'bi dari Ibnu 'Abbas ia berkata; "Aku memberi minum berupa air zam-zam kepada Rasulullah, lalu beliau minum sambil berdiri." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3776, Shahih Bukhori no. 1528, Sunan Tirmidzi no. 1803, Sunan an-Nasa’i no. 2915, Sunan Ibnu Majah no. 3413 dan Musnad Ahmad no. 1741).
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
حَدَّثَنَا أَبُو السَّا بِِِ سَلْمُ بْنُ نََُادَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عُبَيْدِ اللََِّّ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَا عٍَِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَأْكُلُ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu as-Sa`ib Salm bin Junadah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari 'Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar dia berkata, "Pada masa Rasulullah saw. kami pernah makan sambil berjalan dan minum ketika berdiri." (diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3292, Sunan Tirmidzi no. 1801 dan Musnad Ahmad no. 4373)
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah
اَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا بَقِيَّةُ قَالَ حَدَّثَنَا ال ر بََيْدِ ر ي أَنَّ مَكْحُو ا لُ حَدَّثَهُ أَنَّ مَسْرُوقَ بْنَ الَْْ دََْعِ حَدَّثَهُ عَنْ
عَا شَِِةَ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَا اِِ ما وَقَاعِ ا دا وَيُصَلِّي حَا اَِ يا وَمُنْتَعِ ا لَ وَيَنْصَرِفُ عَنْ
يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; telah memberitakan kepada kami Baqiyyah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Az Zubaidi, telah menceritakan kepadanya Makhul telah menceritakan kepadanya, Masruq bin Al Azda' dari 'Aisyah dia berkata; "Aku melihat Rasulullah saw. minum ketika berdiri, atau sambil duduk. Beliau mengerjakan shalat tanpa alas kaki, dan kadang memakai sandal. Beliau juga beranjak dari sebelah kanannya, atau dari sebelah kirinya." (diriwayatkan oleh An-Nasa’i no. 1344 dan Musnad Ahmad no. 23428).
Setelah melakukan takhrij dengan hasil tersebut diatas, maka kritik matan dapat dilakukan dengan dipermudah adanya redaksi lain dari hadis yang dikaji dan ternyata hadisnya mukhtalif. Kritik matan yang pertama dilakukan berupa kajian kebahasaan atau linguistik, lalu kajian kontradiktif, serta kajian historis. Berikut pemaparannya:
a. Kajian Kebahasaan
8
Jika diperhatikan hadis yang membolehkan dan melarang minum ketika berdiri, semuanya adalah hadis fi’li, kecuali satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang larangan minum ketika berdiri yang diriwayatkan oleh Muslim no. 3775 dan dalam Musnad Ahmad no. 7985. Adanya hadis fi’li tersebut menyebabkan terdapat banyak redaksi matan hadis. Meski demikian, seluruh matan hadis yang membolehkan minum ketika berdiri, di dalamnya selalu terdapat kata شرب dan kata قأما .
Kata شرب menurut Raghib al-Ashfihani adalah meminum segala benda-benda cair baik itu berupa air atau yang lainnya.9 Dengan demikian kata شرب hanya dikhususkan untuk menunjukkan aktifitas memasukkan benda-benda cair ke dalam mulut lalu menelannya. Sedangakan kata قام berarti lawan kata dari kata duduk. Dengan demikian kata قام menunjukkan kondisi orang yang sedang tegak kedua kakinya.10 Dalam redaksi hadis tentang bolehnya minum ketika berdiri kata قام berkedudukan menjadi khal dengan menggunakan redaksi isim fa’il yaitu قأما . Dalam ilmu nahwu, khal menunjukkan keterangan tentang kondisi seseorang, dengan demikian, ini menunjukkan bahwa Rasulullah memang pernah minum ketika berdiri.
Sedangkan kata kunci dari hadis-hadis yang melarang minum ketika berdiri adalah kata زجر untuk menunjukkan larangan, شرب dan kata قأما . Dalam riwayat Muslim no. 3774, menggunakan kata نهى untuk menunjukkan larangan. Dalam riwayat muslim no. 3775, hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang berbentuk qauli menggunakan redaksi ا لَ ياشْ ا ربانَّ أا ا حدٌ مِنْكُمْ
قاائِمًا , menggunakan bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) yang disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Dengan demikian dalam hadis-hadis yang melarang minum ketika berdiri terdapat tiga variasi redaksi yang menunjukkan larangan yaitu kata زجر , نهى dan kata ا لَ ياشْ ا ربانَّ .
Kata زجر mempunyai arti nahyu dan man’u yang berarti melarang dan mencegah. Jika kata zajara digunakan dalam konteks hewan, maka maknanya bisa mengusir dengan suara yang lantang.11 Kata نهى dalam kamus Lisan al-Arab berarti lawan dari perintah (al-Amr) dengan demikian kata naha berarti larangan.12 Menurut Raghib al-Ashfihani naha berarti zajru ‘an al-asyya’ (melarang melakukan sesuatu). Dengan demikian kata naha dan kata zajara adalah sinonim. Sedangkan kata ا لَ ياشْ ا ربا ن menggunakan bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) dan disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Menurut ilmu Balagah, kalimat yang menggunakan taukid (penguat) itu lebih kuat larangannya daripada kalimat yang
9 Raghib al-Ashfihani, Mufradat al-Fadz al-Qur’an, hlm. 21,. Al-Maktabah al-Syamilah.
10 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz. 12, hlm. 496, . Al-Maktabah al-Syamilah.
11 Ibid, juz. 4, hal. 318.
12 Ibid., juz. 15, hal 343.
9
tidak menggunakan taukid.13 Dengan demikian redaksi نا لَ ياشْ ا ربا merupakan bentuk redaksi paling kuat dibandingkan dua redaksi lainnya, sedangkan hadis yang dikaji menggunakan kata naha sebagai larangan.
b. Kajian Kontradiktif
Pemakalah menggunakan metode al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebelum mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut, pemakalah akan memaparkan pendapat-pendapat ulama’ dalam mengkompromikan hadis-hadis tersebut: Pertama, sebagian ulama’ berpendapat bahwa minum ketika berdiri hukumnya boleh (mubah). Kedua, sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh.14 Ketiga, Sebagian ulama’ berpendapat bahwa adanya hadis tentang bolehnya minum ketika berdiri menunjukkan bahwa minum ketika berdiri adalah boleh, sedangkan adanya larangan tentang minum ketika berdiri menunjukkan bahwa hal tersebut lebih disukai oleh Nabi (mustahab), dan hal tersebut lebih utama dan sempurna.15
Dalam ushul fiqh, ulama’ berbeda pendapat mengenai hakikat makna nahyu ketika tidak terdapat inidikasi (qarinah) yang menunjukkan ke-nahyu-annya, apakah bermakna karahah, atau tahrim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika tidak terdapat indikasi (qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna karahah atau makruh. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika tidak terdapat indikasi (qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna al-tahrim atau haram dan pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. Dari sini dapat disimpulakan bahwa nahyu tidak selalu bermakna haram (al-tahrim) tetapi juga dapat bermakna makruh tergantung indikasi-indikasi (qarinah-qarinah) yang menunjukkannya. Selain itu haram bisa bergeser menjadi makruh apabila terdapat indikator-indikator yang menunjukkan kemakruhannya.16
Jika kita analisis hadis-hadis tentang minum sambil berdiri dengan teori ushul fiqh tersebut, maka sebenarnya larangan minum ketika berdiri itu tidak murni terlepas dari indikasi (qarinah) yang menunjukkan keharamannya, karena masih ada hadis-hadis lain yang memperbolehkannya, hal ini menunjukkan bahwa larangan minum ketika berdiri tidak bersifat haram secara mutlak. Selain itu, tidak terdapat implikasi (biasanya berbentuk ancaman, adzab dan lain-lain) yang disebabkan ketika seseorang minum sambil berdiri. Dari sini, pemakalah menyimpulkan bahwa larangan minum sambil berdiri hukumnya adalah makruh dalam artian
13 Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Husnu al-Shiyagah, (Rembang: Maktabah al-Barakah, 2008), hal.25.
14 Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bari, Syarhu Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), Juz. 10, hal. 82,. Al-Maktabah al-Syamilah.
15 Ibid.,
16 Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Batsair, ttt), hal.45.
10
ketika seseorang minum sambil berdiri ia tidak mendapatkan dosa atau melanggar syari’at dan ketika seseorang tersebut tidak mengerjakannya ia akan mendapatkan pahala, dengan demikian minum sambil duduk hukumnya adalah nadb atau disukai oleh Nabi.
c. Kajian Historis
Pada umumnya, analisa historis dilakukan dengan berpusat pada peng-analisa-an asbabul wurud. Namun tidak selalu setiap teks hadis memiliki asbabul wurud. Namun para ulama kontemporer, seperti Fazlurrahman memunculkan sebuah teori baru bahwa asbabul wurud hadis ada yang berbentuk mikro dan makro. Dalam hal ini dipahami bahwa asbabul wurud mikro terkadang memang tidak ditemukan, tapi sebaliknya asbabul wurud makro selalu bisa ditemukan dibalik teks sebuah hadis, dengan cara menganalisis lebih jauh tentang kehidupan Nabi, sahabat, dan lingkungan masyarakat Arab ketika itu.
Dalam penelitian penulis sejauh ini belum bisa menemukan aspek asbabul wurud mikro dari hadis-hadis tentang larangan minum sambil berdiri. Sedangkan mengenai asbabul wurud makro, pemakalah mencoba melihat hadis-hadis tersebut dari perspektif etika bangsa Arab. Bahwa ketika itu masyarakat Arab disimbolkan dengan ke-jahiliyah-an, tidak mempunyai tata krama, dan wataknya yang keras. Kedatangan Nabi Muhammad saw. disatu sisi adalah untuk mengubah komunitas masyarakat ini menjadi lebih beradab dan lebih berakhlak. Rasulullah saw. bersabda :
إنما بعثت رحمة ولم أبعث عذاب اً .
Artinya: Saya hanya diutus sebagai pembawa rahmat, saya tidak diutus untuk membawa adzab.17
Dalam riwayat lainnnya, Abu Hurairah RA meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda :
إنما بُعِثتُ لأتمم صالح الأخلاق .
Artinya: Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.18
Dari sisi lingkungan geografis, melihat bahwa anjuran Nabi untuk minum sambil duduk tidak terlepas dari kondisi alam wilayah Arab yang dipenuhi oleh gurun pasir. Dengan bentangan alam yang tandus ini mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan persediaan air. Maka sudah sewajarnya mereka akan mempergunakan air yang ada dengan sebaik-baiknya untuk mencukupi semua kebutuhan. Ketika seseorang minum sambil duduk, hal ini menggambarkan suatu kondisi
17 Fakhrudin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz 11, hal 81 dalam . Al-Maktabah al-Syamilah,
18 HR. Ahmad no. 381/2
11
ia minum dengan tenang dan tidak terburu-buru, sehingga air tidak ada yang tertumpah (mubadzir).19 Berbeda dengan minum ketika berdiri –terlebih berjalan, atau berlari-- yang terkesan sebagai sikap tergesa-gesa, sehingga air yang diminum mempunyai kemungkinan akan mudah tumpah, terbuang percuma. Penulis menduga bahwa pertimbangan Nabi dari faktor inilah yang menyebabkan adanya hadis tentang larangan minum sambil berdiri.
Hadis tentang Nabi pernah minum sambil berdiri tidak dapat dipungkiri adalah hadis yang shahih, maka sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh Nabi dalam keadaan darurat saja. Saat musim haji tiba, kantong-kantong air (bejana) terbuat dari kulit hewan diletakkan dengan cara digantung di pintu gerbang Kuffah, sehingga situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya adalah dengan posisi berdiri. Di sisi lain, saat itu suku-suku bangsa di Arab merupakan bangsa nomaden, yaitu seringnya mereka berpindah-pindah lokasi atau tempat tinggal untuk menggembala ternak-ternak mereka dan mencari sumber air (oase) maupun sumber makanan bagi ternak-ternak tersebut.20 Dengan kondisi demikian, maka minum sambil berdiri adalah hal yang wajar, hal ini menunjukkan bahwa Rosul pernah minum sambil berdiri namun bukan suatu yang menjadi kebiasaan bagi Rosul.
4. Kontekstualisasi Hadis
a. Minum Sambil Berdiri dalam Perspektif Teori Kedokteran
Dalam konteks minum sambil berdiri, pemakalah menemukan dua perbedaan pendapat dalam ilmu kedokteran tentang minum sambil berdiri, yaitu ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri dapat membahayakan kesehatan dan ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri tidak membahayakan kesehatan.
 Pendapat yang mengatakan membahayakan
Secara medis minum sambil duduk lebih menyehatkan ketimbang sambil berdiri berdiri. Sebab dalam tubuh manusia terdapat jaringan penyaring (filter) atau yang lazim disebut sfringer, yaitu suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka dan menutup. Ketika filter dalam posisi tertutup, air yang dikonsumsi sambil berdiri langsung masuk hingga ke kantong kemih tanpa proses penyaringan. Akibatnya terjadi pengendapan di saluran ureter. Selain itu, saat berdiri manusia sebenarnya dalam keadaan tegang, keseimbangan pusat saraf sedang bekerja keras agar mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya. Sebaliknya dalam posisi duduk, saraf dalam keadaan tenang.
19 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1, Mei 2016, hlm. 168.
20 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan”, hlm. 168.
12
Dampak buruk lain dari minum sambil berdiri adalah refleksi saraf. Hal itu diakibatkan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus, terlebih 95% penyebab luka pada lambung terjadi di tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Meskipun dampaknya tidak terjadi secara langsung, sebaiknya ketika makan atau minum dilakukan sambil duduk daripada sambil berdiri atau bahkan sambil tidur-tiduran.21
 Pendapat yang mengatakan tidak membahayakan kesehatan
Menurut ahli Urologi22, tidak ada perbedaan ketika orang minum ketika duduk maupun berdiri. Anggapan bahwa air minum tidak melewati proses penyaringan didasari asumsi bahwa beberapa katup menuju ginjal menjadi tidak aktif ketika seseorang minum dalam posisi berdiri. Meski minum sambil duduk memang lebih nyaman, kenyataannya ketika berdiripun sebenarnya tidak masalah.
Menurut Dr. Ponco Birowo, SpU, Ph.D, ahli Urologi dari RS Cipto Mangun Kusumo, tidak ada hubungannya dengan sikap minum, mau sambil duduk atau berdiri air tetap butuh waktu berjam-jam untuk sampai ginjal. Menurutnya, penyaringan air minum tidak serta merta terjadi begitu saja pada saluran menuju ginjal. Ketika masuk kerongkongan, minuman apapun terlebih dahulu akan ditampung lalu mengalami penyerapan di lambung yang prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam.
Terkait anggapan bahwa ada semacam katup atau sfinger yang menjadi tidak aktif saat berdiri, dibantah oleh Dr. Ponco. Menurutnya, selama tidak ada gangguan kesehatan pada saluran kemih, sfinger akan tetap berfungsi baik dalam posisi duduk maupun berdiri. Menurutnya, fungsi sfinger adalah mengatur keluarnya air kencing, bukan untuk menyaring air minum yang masuk ke ginjal.
Menurutnya, minum sambil duduk kadang lebih dianjurkan dengan alasan lebih sopan, namun bukan berarti bisa meningkatkan kesehatan ginjal. Untuk menjaga kesehatan gijal, yang harus dilakukan adalah banyak minum air putih agar kotoran-kotoran bisa larut sehingga lebih mudah disaring oleh ginjal.23
Kesimpulannya adalah sebenarnya dalam perspektif ilmu kedokteran minum ketika berdiri masih menjadi bahan perdebatan. Dengan demikian, teori-teori kedokteran masih belum bisa menjawab hadis-hadis tentang minum ketika berdiri yang saling tampak bertentangan
21 www. Fhm.co.id, diakses pada 04 Oktober 2016
22 Menurut KBBI Urologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit saluran kemih, dan ahli urologi disebut Urolog.
23 www. Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
13
tersebut. Pemakalah tidak mengetahui teori mana yang paling benar karena keterbatasan pemakalah dalam bidang kedokteran.
b. Minum Sambil Berdiri Ditinjau dari Perspektif Etika
Seperti yang telah disampaikan oleh Rosul Saw.
أاكْ ا ملُ الْمُؤْمِنِي ا ن إِي ا مانًا أاحْ ا سنُهُمْ خُلُقًا .
Artinya: Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.24
Term kata akhlak, yang mempunyai bentuk jamak al-khuluq mempunyai arti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: "gambaran batin seseorang".25 Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :
1. Gambaran dhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh atau fisik manusia. Dan gambaran dhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
2. Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan-perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.26
Dalam KBBI, kata akhlak diartikan budi pekerti; kelakuan. Dari pengertian ini pemakalah lebih memilih untuk memakai istilah kata etika, kata yang mempunyai implikasi makna yang hampir sama dengan akhlak dalam konteks Indonesia. Karena etika berkaitan dengan norma dan nilai yang baik dan buruk yang berlaku di sebuah komunitas masyarakat.
Etika yang dijadikan pegangan dalam suatu komunitas masyarakat akan ditimbang berdasarkan sistem nilai yang berlaku. Nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang telah menjadi kesepakatan bersama secara turun temurun kemudian akan menjadi barometer bagi setiap anggota komunitas dalam bersikap. Dengan kapasitasnya sebagai nilai, maka melanggar kesepakatan nilai akan berimplikasi pada konsekuensi sanksi sosial, yang terkecil adalah pengucilan dan cacian.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, minum ketika berdiri dipandang sebagai perilaku yang tidak terpuji karena dipandang tidak sopan. Jika hadis tentang larangan minum sambil
24 HR. Al-Dharimi, no. 2672
25 Imam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Akhlakul Karimah. Terj. Abu Musa al-Atsari. Maktabah Abu Salma, hal. 3.
26 Ibid.,
14
berdiri dikontekstualisasikan, maka larangan hadis sambil berdiri tampaknya lebih relevan dalam konteks tradisi Indonesia, karena selain lebih dianjurkan oleh Nabi, hal itu merupakan konstruk budaya di Indonesia yang sudah dipandang sebagai etika dalam masyarakat. Dengan demikian, sudah sepatutnya untuk mematuhi etika yang berlaku di masyarakat. Misalnya ketika kita bertamu atau menghadiri hajatan, maka posisi duduk merupakan sebuah etika yang baik, pertanda kalau seseorang menghargai sang tamu, sehingga pemilik rumah juga berkenan untuk menghidangkan minuman. Disaat duduk juga seseorang bisa lebih menikmati minuman atau makanan dengan santai.
Meski pada saat ini, terdapat kasus di masyarakat yaitu fenomena standing party. Secara sederhana, standing party adalah suatu pesta atau acara yang terdapat berbagai hidangan yang disajikan, baik makanan maupun minuman, namun para tamu menikmatinya dengan cara stand atau berdiri, dimana kursi yang disediakan penyelenggara pesta sangat terbatas, mungkin hanya untuk keluarga atau kalangan khusus, dan tidak sebanding dengan tamu yang banyak, sehingga sebagian besar tamu menikmati hidangan sambil berdiri.27 Standing party sengaja dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran. Fenomena ini sekarang menjadi tren, sebenarnya standing party adalah budaya barat yang kurang cocok diterapkan di Indonesia yang lebih condong pada budaya ke-timuran.
Contoh lain adalah pada para pembeli dari penjual es atau jajanan keliling yang tidak menyediakan kursi bagi pembelinya, tapi ini adalah tergantung dari kebijakan pembeli untuk mencari tempat duduk sebelum menyantap makanan dan minuman. Lalu bagaimana jika terpaksa? Seperti analisis diatas, bahwa hukum minum sambil berdiri adalah makruh, maka jika terpaksa harus minum sambil berdiri maka tidak mendapat dosa, dan akan mendapat pahala jika minum atau makan sambil duduk.
Selain itu, minum sambil berdiri terkesan ada unsur terburu-buru, sehingga tingkat ketenangan orang yang minum sambil berdiri tidak sama dengan ketenangan orang yang minum sambil duduk. Ketika seseorang dalam posisi sangat haus, kemudian ia langsung minum sambil berdiri, ini menunjukkan keterburu-buruan atau ketergesa-gesaannya karena posisinya yang sedang haus. Berbeda dengan orang yang haus kemudian duduk lalu minum, hal ini menunjukkan tidak terburu-buru, karena seseorang harus duduk terlebih dahulu untuk menenangkan diri kemudian minun. Nabi juga menjelaskan bahwa keterburu-buruan merupakan perilaku setan:
الْأانااةُ مِنْ اللََِّّ ا والْ ا ع ا جلاةُ مِنْ الشَّيْطاانِ .
27 Aprilia Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan”, hlm.157
15
Artinya: Sifat hati-hati (waspada) itu dari Allah dan tergesa-gesa itu godaan dari setan.
C. Kesimpulan
Hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri bersifat mukhtalif, namun dengan metode Jam’u wa Taufiq serta pendapat jumhur ‘ulama, dapat disimpulkan bahwa larangan makan atau minum sambil berdiri bersifat makruh dan tidak sampai haram. Dari perspektif kedokteran juga terdapat perbedaan bahwa minum sambil berdiri sehat atau tidak. Akan tetapi jika dilihat dari perspektif etika dengan konteks Indonesia, makan dan minum sambil berdiri adalah hal yang melanggar norma dan etika yang ada, sehingga akan lebih baik jika makan dan minum dilakukan sambil duduk. Pentingnya mentaati norma dan etika yang terdapat dalam masyarakat dan anjuran Rosul Saw menunjukkan akhlak yang baik bagi seorang Muslim.
Hadis yang melarang minum sambil berdiri merupakan hadis qouli dan hadis yang memboleh adalah hadis fi’li. Pada hakekatnya, minum sambil berdiri itu dilarang namun dalam kondisi tertentu menjadi dibolehkan. Nabi Muhammad pernah minum sambil berdiri namun bukan menjadi kebiasaan beliau minum sambil berdiri.
Daftar Pustaka
Software Mausu’ah al-Hadis al-Syarif
Software Lidwa Pusaka Sembilan Imam.
Software. Al-Maktabah al-Syamilah.
Tahdzibul Kamal dalam Software Jawami’ al-Kalim V.4.5.
www. Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
A.F.‘Abdul Hayyi, Hanbal. 1979. Syaradat adz-Dzahab. (mashr: dar alfikr) cet ke-1.
Ahmad, Sutarmadi. 1998. Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm Hadits dan Fiqh/ pengantar. (Jakarta : Logos).
Aprilia, M., “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1, Mei 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar