Minggu, 07 Januari 2018

Nama : Faisal wafi
NIM : 14530023
Mata kuliah : Pemikiran Tafsir Kontemporer


Teori Kritik Syahrur Atas Pemikiran Arab-Islam Kontemporer


Tugas interpretasi al-Qur’an dalam historinya telah membuktikan bahwa tafsir berkembang terus seakan tidak pernah berhenti. Perkembangan itu sendiri sangat kompleks dan menyangkut banyak variabel yang tidak sedikit, mengacu kepada aspek aspek seperti asumsi, historisitas, wacana, serta penemuan teori “pembacaan” al-Qur’an yang berbeda dari setiap periode. Hal ini dapat ditilik dari hasil penafsiran yang keluar dari beberapa tokoh yang membawa karakteristik pembeda antara satu dengan lainnya.
Peradaban islam telah berlalu paruh terahir abad ke-20 M. Tepi peradaban islam sejak permulaan abad 20 masih saja menyuguhkan islam sebagai aqidah dan etika tanpa menyentuh dimensi filosofis dalam aqidah itu sendiri, hal inilah mulanya yang mejadi titik tumpu pemikiran Muhamad syahrur. Menurutnya perkembangan islam mengalami stagnansi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran keislaman, karena masih dipenuhi berbagai taqlid dan doktrin tanpa pengkajian.
Pembaruan proyek penting bagi sejumlah harakah islamiyah saat ini dengan berbagai perbedaan dalam memandang pembaharuan tersebut diaplikasikan. Secara pembagian, mengacu pada istilah as-Syaukani, bahwa pemikiran Syahrur berasal dari abduh yang notabene menjadi bagian “islam kiri”. Pemikiran yang ingin diperkenalkan adalah sebuah gerakan reformis yang mengembangkan pemikirannya berdasarkan metodologi barat yang bercorak liberal.1
Dalam melakukan pembaharuan interpretasi dalam studi al-Qur’an, syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek Filologi (fiqh al-lughah).2 Dimana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinan kepada anti sinonimitas istilah dalam al-Qur’an, yaitu bahan awal teori interpretasinya ; al-kitab terbagi kepada al-Qur’an dan umm al kitab.
Penulisan saat ini mungkin tidak menerawang jauh menuju tawaran yang di berikan syahrur, namun hanya sebatas asumsi awal yang menjadi dasar keresahan syahrur untuk melakukan pembaharuan dalam “pembacaan ulang” terhadap teks teks keagamaan. Dalam menjabarkan kritik Syahrur atas masalah ini, beliau memunculkan beberapa masalah dasar dalam pemikiran arab (islam) kontemporer, sebagai berikut : pertama, para pemikir muslim tidak mempunyai metode ilmiah objektif sebagai pegangan. Yaitu dalam mengreinterpretasi ayat ayat suci seharusnya mereka menerapkan sikap objektif terhadap makna ayat itu sendiri tanpa adanya keberpihakan pengamat.
Kedua, seringkali terjadi prakonsepsi dalam memandang sebuah “term” sebelum adanya kajian. Para pemikir muslim berkesimpulan lebih dahulu sebelum mengadakan penelitian dengan mendasarkan kepada asumsi yang dibangunnya sendiri, contohnya seperti tema “perempuan dalam islam”. Mereka berasumsi bahwa posisi perempuan dalam islam sudah proposional dan islam adalah agama yang bersikap paling adil terhadap perempuan. Sehingga apapun yang dikerjakannya selalu didasarkan atas asumsi ini, padahal setiap persoalan yang akan dikaji menuntut adanya pembahasan ilmiah yang objektif, terbebas dari segala klaim barulah kemudian melakukan pendekatan dengan berbagai metode yang ada.
Ketiga, pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep konsep filsafat humaniora serta tidak berinteraksi dengan dasar dasar teorinya. Dalam mengenalkan hal ini saya mengutip perkataan syahrur :3
“kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh hasil pemikiran manusia sejak zaman yunani hingga saat ini adalah sebuah kesalahan. Jika saya berpendapat bahwa segala yang dihasilkan pemikiran manusia merupakan sebuah entitas, sedangkan islam adalah entitas yang berbeda. Dengan kata lain kita hendak mengatakan bahwa apapun yang terlintas dalam benak kita bukanlah islam yang sesungguhnya, maka akan muncul pertanyaan yang tidak mungkin untuk dijawab, apakah islam itu? Pertanyaan ini menandakan bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang sempurna atas islam. Tetapi jika saya berpendapat bahwa hal yang dikemukakan oleh pemikiran manusia ada yang sempit dan ada yang luas, ada yang benar dan salah, maka hal ini berarti kita sebagai muslim mampu berinteraksi secara positif dengan seluruh pemikiran manusia tanpa khawatir atau takut. Akan tetapi sebelum interaksi positif ini dilakukan secara sempurna, kita sebagai orang arab atau muslim harus memiliki standar fleksibel yang memungkinkan kita berinteraksi tanpa harus takut. Standart itulah yang selama ini belum ada.”
Keempat, dalam mengemukakan masalah yang berkaitan dengan ilmu humaniora, tidak terdapat teori islam kontemporer yang diimpor langsung dari al-Qur’an, yang mana dengan teori itu kita bisa memberi pencerahan tentang cara berpikir ilmiah pada diri setiap muslim, dan melakukan islamisasi pengetahuan. Hal inilah yang menurut syahrur menyebabkan tafakkuk al-fikri, yaitu terjebak pada pemikiran yang statis dan wawasan yang sempit (tidak terbuka dalam berpikir). Tanpa adanya sebuah epistem yang diharapkan bisa menampung sisi keurangan dan kelebihan, pasti akan selalu muncul reduksi, simplifikasi dan sempitnya wawasan. Maka dari itu dalam bukunya syahrur Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer banyak menyorot bahasan bahasan mengenai problematika pengetahuan manusia melalui pendekatan filsafat.
Kelima, saat era kontemporer seperti saat ini, terdapat banyak problematika yang semakin kompleks khusunya dalam mewadahi fiqh moderen yang syahrur sebut sebagai “krisis ilmu fiqih”, kita butuh sebuah pemahaman moderen mengenai sunah nabi serta adanya rekonstruksi sekaligus dekonstruksi untuk mewadahi warisan madzahib fiqih.
Kita tidak bisa memecahkan masalah tersebut sebelum menemukan teori otentik dalam ilmu humaniora (jadal al-insan) yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karena menurut syahrur sebuah pijakan filosofis pasti mampu memecahkan persoalan fiqih yang sesuai dengan keadaan aktual.
Demikianlah beberapa dasar masalah yang ingin diungkapkan syahrur mengenai pemikiran arab(islam) kontemporer, tentunya point point diatas masih perlu pembacaan yang serius untuk memahami secara keseluruhan tentang teori “batas” nya yang terkenal baik pro dan kontra. Namun meskipun begitu pembaca diharapkan akan mengerti sedikit mengenai apa yang harus diketahui lebih awal dari pemikiran syahrur.
1 A. Luthfi assyaukanie, Tipologi dan Wawancara Pemikiran Arab Kontemporer, dipublikasi di http://media.isnet.org/islam/paramadina/jurnal/arab2.html, diakses tanggal 11 desember pukul 20.15
2 Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqh menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta : fakultas syari’ah press, 2004, hlm 150

3 Muhammad Syahrur, al kitab wa al Qur’an, terjemah syahiron syamsudin, yogyakarta : eLSAQ Press, 2004, hlm 40